Image

A Choice by Serka Kim (Freelance)

603362_459897407400493_1315507242_nA Choice

 by Serka Kim

 

Cast :

Hanna, Kris, Andrew Choi & Adore

Genre :

Romance/Hurt

Length :

Oneshot : I, II, III, IV

Happy Reading!!

*****

(Shot 1)

London, 28 November 2012

 

02:09am

Akhir minggu dibulan November,

Saat dimana angin musim gugur sedang bertiup kencang dan membuat dedaunan maple berjatuhan, ketika seharusnya aku tertidur pulas dalam selimut yang hangat aku memilih berdiri disini, di atas rerumputan berembun sembari sesekali merapatkan mantel tebal—kebesaran yang berhasil kucuri dari pos penjaga,

Sorot neon terlihat menyala-nyala di ujung belokan diiringi suara decitan khas perpaduan antara ban karet dan aspal lembab, sebuah mobil berwarna merah metalik muncul membuat sekumpulan orang yang tadinya termangu sontak berteriak-memekik, sebagian lainnya bergumam dan mengutuk.

Dibawah biasan cahaya remang lampu tiang, si pemenang balapan memarkirkan Chevrolet merahnya tanpa mengurangi sedikitpun kecepatan, memberikan kesan keren dan angkuh secara bersamaan. Ia keluar dari mobil dengan raut sumringah, rambutnya yang berwarna coklat terang terlihat janggal dipasangkan dengan iris kelabunya,

Beberapa kali tangannya mengambang di udara demi membalas high five dari ‘teman’ yang tadi telah mempertaruhkan berjuta-juta dolar atas kemenangannya.

            Dan tanpa kusangka sebelumnya, tiba-tiba seorang gadis berpakaian minim mendaratkan ciuman mesra dibibirnya yang mungil, otomatis aku menahan nafas dan tanpa sadar meremas ujung mantelku tatkala aku menyaksikan bahwa ia juga membalas ciuman itu, pelupukku memanas, ulu hatiku dijalari rasa nyeri, dan bagian kiri dadaku terasa kebas. Kenapa?

Kenapa begitu?

***

Gadis itu mengerjap dua kali lalu menelan salivanya lamat-lamat, ia menikmati tiap detik ketika iris cokelatnya mampu menangkap dan merekam tiap-tiap pergerakan seorang pemuda yang tengah sibuk berkutat dengan dunianya.

Ia mungkin sudah melesat pergi menuju jalan-jalan sempit dan gelap disisi jalan, jika saja ia tak mendapat tatapan itu, tatapan yang seakan mengunci seluruh sendi tubuhnya, tatapan yang jauh lebih dingin ketimbang angin malam ini.

Sejenak, si gadis menarik nafas, mengalirkan udara dalam paru-parunya yang terasa sempit karena sebuah perasaan yang membelenggu dan sangat menyiksa. Ia merindukannya, ia sedang sangat merindukan pemuda pemilik tatapan itu.

Pemuda berambut coklat itu tak jauh berbeda, ada banyak kilasan pertanyaan yang berputar dan bertambah berkali-kali lipat setelah ia menyadari kehadiran gadis itu, setengah ragu ia bergerak, mengeliminasi  jarak mereka dan menyisakan beberapa hasta.

“Hai,” suara parau terlontar dari bibir pucat si gadis, ia merasa tak kuasa jika harus dipandangi pemuda itu barang semenit lagi,

            “Hai, Kris. Apa kabar?” ujar gadis itu lagi seraya melempar senyum kaku yang dipaksakan,

Ada jeda sebentar sebelum si pemuda berkata,“Baik.”

Dari berjuta untaian kalimat yang tersangkut di tenggorokan hanya kata pendek itu yang berhasil ia ucapkan, dan sebagai pelengkap ia memberi senyum miring yang tak kalah di buat-buat.

“Aku.. aku harus pulang—“

            “Hanna—“ kata Kris nyaris berteriak sesaat setelah jemarinya yang cekatan menangkap pergelangan tangan gadis itu.

“Mau ku antar?” tanya Kris tanpa meminta jawaban karena sedetik kemudian ia telah membawa gadis itu menyebrang jalan, membuka pintu dan tentunya mengacuhkan pandangan orang-orang.

            Hanna diam tak bergerak, ia tidak punya topik yang bisa digunakan untuk bahan pembicaraannya dengan Kris.

Kris sendiri juga membisu, konsentrasinya tercurah pada jalanan kosong, jantungnya berdegup kencang persis ketika pertama kali ia memegang setir.

“Ngomong-ngomong Kris, sebaiknya kau tidak mengantarku pulang kerumah,” Hanna berujar membuat sudut mata Kris tidak bisa— tidak melirik— siluet gadis itu.

“Lantas?”

“Kerumah sakit, aku harus kembali kesana,” kata Hanna dengan nada suara sedatar dan senormal mungkin sesaat sesudahnya Kris tiba-tiba me’rem mendadak mobilnya,

“Sebenarnya ada apa? Kenapa gadis baik-baik sepertimu berkeliaran selarut ini? Kenapa kau ada ditempat tadi? Kenapa tiba-tiba datang setelah pergi selama setahun?” tuntut Kris meminta penjelasan,

Hanna menggigit bawah bibirnya gusar, ia berpikir keras memikirkan alasan palsu yang paling masuk akal.

            “Dan jangan coba membohongiku, Hanna.”

 Hanna mendesah, merasa tertohok atas ketajaman intuisi Kris.“Cepat antar aku, Kris.”

“Kau banyak berubah,” Ujar Kris seolah tak mendengar permintaan Hanna beberapa detik lalu.

“Kau merindukanku?”

            “Tidak,” jawab Kris cepat, terlalu cepat malah.

            “Oh,”—Hanna menatap gerimis dibalik kaca mobil—“Aku hanya memastikan kok,”

Keheningan kembali beradaptasi, tak ada yang berniat bersuara meskipun ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan, mereka sibuk berdebat dengan ego dan pikiran masing-masing.

            “Lalu? Apa kau mau menjelaskan semuanya?” Suara rendah Kris terdengar, nadanya dingin namun penuh pengharapan.

            “Tak ada yang perlu dijelaskan, Kris.”

            “Tapi aku perlu tau,” Kris menatap manik cokelat Hanna, membiarkan gadis itu merasa terintimidasi olehnya “Aku perlu tau apa yang sebenarnya terjadi!—oh—aku bisa gila.” Kris memukul keras setirnya kemudian membenamkan kepalanya diantara dua lipatan tangan.

“Besok—“ Hanna menelan kalimatnya tatkala Kris kembali duduk tegap dan lagi-lagi, menatapnya.

            “Besok aku ada operasi, eum—ada sesuatu yang salah dengan ususku—“

 “Usus buntu?” potong Kris tak sabar dan Hanna menggelengkan kepalanya sekali,

“Radang usus?” tebaknya lagi dan Hanna kembali menggeleng,

“Kanker usus,” kata Hanna, seakan telah menyelsaikan beban seluruh umat.

            “Kanker usus? Itukah alasanmu? Kenapa pergi hanya karena alasan bodoh itu Hanna?! Kenapa?!”

            “Astaga, Kris. Apa kau tak merasa bodoh? Kau terlalu banyak bertanya kena—“

            “Jawab saja.” Suara Kris melengking menandakan ia sedang berada diatas emosi tapi iris kelabunya malah menampakan perasaan terluka.

Suara mobil melesat terdengar dari sisi kiri Hanna sebelum ia mengatakan,

“Kau salah, Kris. Ini bukan tentang kanker usus. Setahun lalu aku meninggalkanmu itu karena.. karena kesalahanmu sendiri..” Hanna memelankan suaranya, ia tak yakin selanjutnya harus mengatakan apa,

“Kau, tanpa masa depan. Saat itu kau lebih memilih bersama jarum suntik dan obat-obatan terlarang itu kan!”

“Itu dulu, Hanna. Demi Tuhan aku telah berubah, aku sudah memperbaiki semuanya.. kembalilah padaku, Hanna.” Kris meraih jemari Hanna dan meletakannya didada kiri, menuntun gadis itu agar bisa merasakan betapa kini jantungnya berdebar cepat karenanya.

“Kris, aku sudah menikah..”

Kris terdiam, ia tak bereaksi bahkan ketika Hanna menepis tangannya.

“Setahun lalu aku pergi ke korea dan menikahinya, aku bahagia Kris.. dia pria yang taat agama dan sangat menyayangiku,”

Hanna tersenyum, “Bisakah kau buka pintu mobil? Aku harus pulang..”

***

London, 29 November 2012

08:02am

Pagi itu wangi waffle dan roti panggang menyeruak memenuhi ruang dapur minimalis mengundang langkah terburu-buru seorang Pria tampan guna menuruni tangga secepat mungkin.

“Adore, Dear. Tolong pasangkan ini~” ujarnya pada seorang gadis yang sibuk mengoles selai diatas roti,

            Sejenak gadis bernama Adore tadi tersenyum,

“Manja sekali, biasanya juga pasang dasi sendiri.” Keluhnya sembari pura-pura memasang wajah cemberut.

Jemari Adore seolah menari di atas dada pria itu, tak sampai dua menit dasi merah maroon itu telah terpasang rapi.

“Terima kasih,”

Cup

“Morning Kiss” kata Pria itu setelah mengecup singkat bibir Adore seraya tersenyum menunjukan dua buah lesung pipi yang merekah.

“Kenapa buru-buru sekali, Mr. Choi?” tanya Adore berusaha mengalihkan perhatiannya pada pipinya yang tiba-tiba terasa memanas.

Pria tampan itu melirik Adore sebentar lalu kembali mengunyah rotinya.

“Hanna, hari ini dia operasi.”

Senyum Adore menghambar lalu hilang seolah tertiup angin,

            “Hanna.. bagaimanapun dia—“

“—Istrimu? Benar, dia adalah istrimu.. lalu.. lalu aku ini apa? Pemain pengganti? Pelampiasan? Atau malah Budak nafsumu?”

            Pria itu berdiri dari tempatnya, “Adore sayang, kita sudah pernah membahas ini sebelumnya, kau—“

            “Iya, tapi kau selalu menghindar, kau menggunakan perasaanku sebagai alat agar aku selalu disisimu,” Adore menundukan kepalanya, air matanya jatuh menetesi celemek merah muda yang ia kenakan.

“Kau bisa memilihku dan tetap disini, atau pergi dan jangan kembali.”

“Ya ampun, Dear. Pergi dan membiarkanmu menangis sendiri?” pria itu bergerak maju bermaksud memeluk Adore, namun gadis itu menolak dengan memundurkan kakinya selangkah kebelakang.

            “Jika kau peduli padaku dan tidak ingin aku menangis tentukan pilihanmu, Mr. Choi.”

***

(Shot II)

London, 29 November 2012

08:02am

Adore masih termangu didalam mobil yang berhenti di jalur paling kiri jalan, sebenarnya mobilnya tak mogok, ia hanya ingin sejenak beristirahat karena tak kuat dengan riuh dikepala dan air mata yang mendesak jatuh.

Aroma lavender dan mint membaur, mengingatkannya kembali pada Pria itu, mengingatkannya kembali pada kejadian beberapa waktu lalu.

“Jika kau peduli padaku dan tidak ingin aku menangis tentukan pilihanmu, Mr. Choi.” Kalimat itu terlontar, sebuah permintaan yang telah Adore simpan begitu lama, ada banyak harapan dan kekhawatiran yang tersirat ketika gadis itu memikirkan jawaban yang kelak Mr. Choi katakan.

            “Jawablah, Andrew.” Tuntut Adore, jemarinya meremas ujung celemek merah mudanya kuat-kuat.

“Adore, aku—“ Andrew menatap iris hitam Adore namun bayangan Hanna terus melintas cepat di kepalanya.

Ia membuka bibirnya bermaksud mengutarakan sesuatu sesaat sebelum terdengar lengkingan suara ponsel. Andrew menghela nafas, ada rasa syukur yang terselip ketika ia menekan tombol hijau,

Adore ikut merespon dengan sedikit mendelik tak rela tetapi Andrew mengacuhkannya.

“Hallo,”

‘Mr. Choi, kami dari Royal London Hospital. Begini—‘

“Oh, baiklah.. operasi itu kan. Aku akan segera kesana”

 

‘Mr. Choi sebenarnya, Ny.Choi.. dia.. dia menghilang’

            “Apa maksudmu? Istriku menghilang? Dia pasien. Dia sedang sakit!” racau Andrew, nampak gusar.

‘Maafkan kami, kami sangat menyesal, tapi Ny.Choi benar-benar menghilang, kami sudah mencarinya dan tak menemukannya diseluruh penjuru rumah sakit ini, Tuan.’

“Cari dia, Demi Tuhan akan kutuntut kalian jika terjadi sesuatu padanya, kerahkan polisi, keamanan—apa saja. Aku akan segera kesana,”

 Andrew menutup telepon, ia kembali menatap Adore yang juga tengah menatapnya.

“Kau akan memilih istrimu?” Adore kembali bertanya, kali ini ada sedikit kepasrahan dan rasa kecewa.

Andrew hanya diam, seolah tengah mencari jawaban yang sebisa mungkin tak terdengar menyakiti hati. Tapi untuk apa, selama ini pun Adore sudah cukup kebal dengan penyakit itu.

“Apa semua yang kita lewati hanya kebetulan? Apa sentuhanmu hanya nafsu belaka? Apa perasaanku tak ada artinya?” Adore berusaha menangkap bola mata Andrew yang kini mulai bergerak mengelak dari tatapannya sebagaimana ia membiarkan air matanya menemui muara.

“Aku mencintaimu, Adore”—Andrew memulai—“Sebenarnya sangat sederhana, aku ingin kau disampingku, melihatmu tersenyum, menggenggam tanganmu di antara kerumunan, bersamamu diantara rasa lelahku—”

“Kau tidak bisa menyederhanakan perasaanku, aku lelah di nomor duakan, menjadi simpanan, pura-pura tesenyum saat semua orang memuji-muji istrimu, aku sedang tidak meminta untuk dijadikan Nyonya Choi, Andrew. Aku ingin tau pilihanmu,”

Andrew mengehela nafas,

“Maaf, Dear. Aku harus menemukan Hanna, dia sedang sakit. Maaf. Aku harus pergi.”

Andrew meraih kunci mobil sembari membawa tas kerjanya, ia meninggalkan sarapan, meninggalkan aroma kopi yang menguar dan juga, meninggalkan Adore yang tertunduk lemas dilantai dapur.

Ketika mencapai pintu, Andrew sempat mematung sejenak membuat Adore menaruh harap, menggantungkan setitik mimpi, tapi sekali lagi Adore harus menelan kepahitannya. Bukannya kembali dan memeluk Adore, Pria itu malah merogoh saku mengeluarkan seutas cincin kawin—perak yang langsung menyembul masuk kedalam jari manisnya. Adore semakin tersedu dan Andrew tetap mengabaikannya.

***

Adore mengutuk waktu, jika saja dulu ia tak membuang-buang waktu bersama Hero—mantan kekasihnya, jika saja ia tak meninggalkan Andrew di hari pernikahan mereka. Jika saja—jika saja— jika saja, dua kata yang membuat Adore frustasi.

‘Tinn..Tinn..’

Adore mendengar suara klakson, namun bukan untuknya melainkan seorang gadis yang tengah berjalan limbung lima meter didepannya.

Gadis itu sedikit lebih tinggi dari Adore, kulit wajahnya pucat, rambut gelapnya terurai tak beraturan. Adore menghapus air mata menajamkan penglihatan.

Tak salah lagi, gadis itu Hanna.

Adore menatap pantulan kaca spion, ada seringai tipis yang terlukis dari wajah kusutnya yang mulai menua karena menahan lara.

Rasa benci memenuhi setiap inchi kelenjar hati Adore, bergumul ria dengan rencana jahat yang seketika muncul dalam otaknya. Ia menarik pedal, menginjak gas, dan memutar kemudi.

 

‘BRAKK!!’

***

London, 29 November 2012

09:05am

“Sudah saatnya, Kris” ujar seorang gadis beriris gelap, sementara sosok yang di panggilnya Kris semakin mengeratkan tautan jemarinya.

Ada jeda sejenak saat Kris mendongakan kepalanya, menatap langit-langit gereja lalu beralih pada mimbar pastur, deretan tempat duduk dan berakhir pada gadis disampingnya.

Kris tau ia sangat egois, tadi malam ketika gadis itu memilih pergi ia malah menacap gas dan membawanya kemari, ia tidak peduli jika seseorang sudah mengikatnya. Toh, saat ini dia adalah satu-satunya orang yang menggenggam jemarinya.

“Kris,” panggil gadis itu lagi, merasa sangat risih terus-terusan dipandangi.

“Aku tau Hanna, aku tau..” Kris beranjak tanpa melepas jemari Hanna yang ia genggam,

Ketika Hanna menatap lurus punggung Kris, ia tau ia akan segera bebas. Ia bisa pergi kebelahan dunia lain bersama suaminya, ia akan memiliki putra-putri yang lucu, dan hidup dengan bahagia,

Bahagia? Benarkah itu yang selama ini ia cari.

“Kris,” Hanna menekan perutnya yang terasa nyeri, “Aku bisa pergi sendiri,”

“Tapi—“ Kris menelan kembali kalimatnya tatkala Hanna melepaskan tautan jemari mereka, membuat telapaknya serasa kebas, didepan pintu gereja gadis itu melesat pergi tanpa mengatakan seucap kata selamat tinggal.

Kris ingin sekali menahannya, tapi ia tetap membiarkan gadis yang ia cintai pergi, menempuh jalan ia pilih.

Ditempat dan waktu yang sama, Hanna tak kalah kacau— ia nyaris pinsan berkat sakit yang menyerang bagian perutnya, dengan langkah limbung ia mulai mencari taksi.

Ia tak menyadari sebuah mobil yang bergerak cepat seolah mengincar tubuhnya yang ringkih.

 

‘BRAKK!!’

Hanna terpental, tubuhnya jatuh beradu dengan kerasnya aspal, cairan merah pekat mengalir dari tubuhnya dan dalam sekejap kelopak matanya menutup.

Suara riuh terdengar didepan gereja, beberapa ibu-ibu berteriak meminta tolong, dengan tergesa Kris menuruni tangga. Perasaan cemas berlebihan begitu saja menyelimutinya, sembari berdoa ia menyeruak dalam kerumunan.

Nafas Kris tercekat, dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan gadis yang ia cintai terkulai lemah bersimbah darah.

            “Apa yang kalian lihat? Cepat bawa dia ke mobilku!” Kris mendengar seseorang berbicara nyaring nyaris membentak, membawa pemuda berambut coklat terang itu kembali kedunia nyata.

“Nona, kau harus bertanggung jawab!!” Suara lain menimpali ketika Kris tengah menggendong tubuh Hanna menuju mobil Hyundai putih yang terparkir sembarangan.

“Kau mau membawanya kemana?” ujar Kris sesaat setelah si gadis penabrak duduk di kursi supir.

“Eum.. RoyalLondonHospital.”

***

(Shot III)

Tidak ada yang bisa mengingat tentang apa yang terjadi pada hari bersalju di awal tahun 2011, tak ada satupun kecuali Adore.

Gadis itu masih bungkam, sangat berkebalikan dengan keadaannya sekitar empat jam lalu saat ia menerima telepon di pagi buta dari atasannya yang  mengatakan bahwa Adore mendapat promosi jabatan menjadi seketaris Direktur Pemasaran British Mobile Corporation. Sebenarnya tak ada yang buruk dengan Promosi itu, ia bisa mendapat gaji yang lebih besar belum lagi si direktur memiliki wajah yang tampan, sikapnya penuh tanggung jawab dan baru berusia sekitar 26 tahun. Tapi masalahnya… Adore mengenalnya, beberapa bulan yang lalu mereka bahkan sangat dekat, terlalu dekat hingga Adore sanggup melukainya.

            “Jika kau tak mau membatalkan promosiku, kau bisa memecatku sekarang juga.” Ujar Adore lagi-lagi mengulangi pernyataannya, sementara Pria didepannya masih sok berfokus pada deretan angka dokumennya.

            “Aku tidak suka menjawab sesuatu yang diawali kata ‘Jika’. Kau sendiri tak yakin dengan pertanyaanmu, bagaimana aku bisa menjawabnya.”

Masih dengan menatap ujung stiletto hitamnya Adore berkata, “Aku tidak bisa”

Pria didepannya berdiri dari tempatnya, dengan dalih penat, ia merenggangkan tangannya.

“Apanya yang tidak bisa, semalam aku telah memecat seketarisku dan sekarang aku membutuhkanmu,” katanya dingin, terdengar jauh lebih dingin ketimbang manik salju yang tengah berjatuhan diluar jendela.

Adore menahan napas, mungkin bermaksud meredam degup jantungnya yang tak karuan, ia takut jika nanti bunyinya mampu terdengar oleh Pria yang kini berada semakin dekat dengan keberadaannya.

“Kau sudah pergi dariku dan sekarang kau ada disini, kau pikir aku akan melepasmu lagi?”

“Aku sudah melukaimu, Drew.”

            “Kalau begitu sembuhkan aku!” Andrew mengangkat dagu Adore sedikit agar gadis itu bisa menatap iris gelapnya. “Aku mencintaimu Adore… masih sangat mencintaimu,”

Aku bahagia dengar kata cinta mu

Tapi, aku sedih menerima kenyataan,

Bahwa tak hanya diri ku, yang menjadi milik mu

 Bahwa tak hanya diri ku, yang menemani tidur mu

Semburan cahaya hangat menerpa wajah Adore tatkala ia membuka tirai jendela kamarnya, ia tersenyum. Rupanya musim semi hampir berakhir, pikirnya.

Sejenak irisnya melirik Andrew yang masih terlelap, setidaknya pagi ini Adore kembali menikmati suguhan kumpulan otot bagian atas yang dimiliki Andrew. meskipun sebenarnya gadis itu yakin benar bahwa apa yang dilakukannya salah, tapi ia bisa apa… ia terlalu mencintai Andrew dan tak mampu menutupi betapa ia merindukan sosoknya tatkala Andrew tak bersamanya, melainkan bersama Hanna, istri sahnya.

Bahwa tak hanya… diri ku yang s’lalu,

 ada di hati mu, s’lamanya….

Walau pada kenyataannya Hanna tak jauh lebih cantik dari Adore, namun kulitnya seputih pualam dan berpadu anggun dengan legam berkilau rambut panjangnya. Hanna tak banyak bicara, terkesan cuek namun semuanya tertutupi dengan senyumnya yang lembut dan binar matanya yang tulus. Terkadang Adore menjadi sangat iri jika suatu ketika Hanna mengunjungi kantor Andrew, semua orang seolah langsung mencintainya begitu saja ketika melihat Hanna.

Mungkin pesona itu pula yang menjerat Andrew delapan bulan lalu, dan sadar atau tidak setiap kali memikirkan Hanna, Adore merasa pedih.

Ini begitu salah, tapi ini juga begitu benar…

Untuk aku yang dilanda cinta mu

yang terus membakar aku,

Adore menghapus airmatanya sesaat setelah pintu Ruang ICU tertutup, tangannya yang penuh noda darah membuat tengkuknya sedikit merema ngeri. Sedikit ragu ia menekan angka 1 pada ponselnya yang merupakan panggilan cepat menuju nomor Pria yang ia cintai, atau entahlah… ia tak yakin apa statusnya.

“Hallo, Adore?”

“Eum… Drew, aku—“

“Katakan dengan cepat, Dear.”

“Aku… Aku mencintaimu… Kau… Kau mencintaiku juga kan?”

Sesaat Adore mendengar seseorang mendengus dan itu jelas bukan dirinya,

“Adore jangan sekarang, aku sedang menyetir. Hanna belum kutemukan,”

            “Jawab saja! Well… aku tau dimana Hanna berada,”

            “Dimana dia?!” Adore menelan salivanya cepat, lagi-lagi rasa pedih ini datang menyiksanya.

            “RoyalLondonHospital,” ujar Adore lemah disambung dengan bunyi ‘tut… tut’ sepersekian milisekon setelah ia menyelsaikan kalimat pendeknya.

            Padahal belum sampai lima menit adore mengusap pipinya tapi sungai kecil kembali  membasahi jejak-jejaknya terdahulu, Andrew langsung bereaksi setelah mendengar nama Hanna disebut, tapi sama sekali lupa bahwa ia belum menjawab pertanyaan Adore.

cinta mu, yang akhirnya membunuh ku….

[ Dewi-Dewi, Begitu Salah Begitu Benar]

***

London, 29 November 2012

09:10am

RoyalLondonHospital.

Seorang pria bertuxedo tengah berjalan tergesa-gesa melewati parkiran, dalam batinnya ia tak henti-hentinya berdoa. Istrinya kritis setelah sebelumnya kecelakaan, rahangnya semakin mengeras ketika ia tau yang memberitahunya saat itu bukanlah pihak rumah sakit maupun petugas keamanan melainkan, Adore. Seorang  yang—bagaimanapun juga statusnya adalah— Kekasih gelapnya.

Lorong-lorong putih tanpa noda berakumulasi dengan bau injeksi, bius dan antibiotik, blah— tak ada yang tau betapa ia membenci tempat ini, Langkah Si pria bertuxedo sempat terhalang oleh ranjang dorong dan beberapa petugas medis yang berlalu lalang hingga ia mencapai tempat yang ia tuju.

            “Mana Hanna? Bagaimana keadaannya?!” cecarnya tanpa repot-repot menahan emosi,

            “Dia.. dia sedang ditangani,” suara lemah menjawab, pemiliknya adalah seorang gadis dengan mantel hijau pastel

            Andrew— pria bertuxedo berang, ia menatap gadis didepannya dengan pandangan mengutuk.

“Ini rencanamu kan, Adore! Kau sengaja!”

Adore tak menjawab, ia malah semakin menenggelamkan kepalanya, tak kuasa menatap Andrew.

            “Kau yang menculiknya kan, Adore?! Jawab aku.” Tuduhan itu terlontar dari bibir Andrew, bibir yang telah menempel di setiap inchi tubuh Adore.

“A-apa maksudmu? Tidak… aku tidak menculiknya, sungguh.” Ujar gadis itu jujur sementara Andrew menyunggingkan senyum masam menunjukan betapa ia tak percaya apa yang dikatakan kekasih gelapnya.

            “Bohong. Kau—“

            “— dia mengatakan hal yang sebenarnya.” Suara rendah menginterupsi, sesaat sebelum pemiliknya memberi senyum kaku— adalah seorang pemuda berambut coklat terang yang tengah bersandar di dinding, ia menatap beku pada Andrew sebelum mengatakan,

“Tadi malam Hanna bersamaku,”

Andrew otomatis melotot, “Kau? Siapa? Ah! Kalian pasti berkomplot memisahkanku dengan Hanna,” tukas Andrew akhirnya, Adore sempat terkesiap, tak percaya bahwa Pria yang  ia cintai mengucapkan tuduhan sekeji itu.

            “Cukup, Drew. Aku bahkan tidak mengenalnya,.” ujar Adore dengan nada ketus,

            “Jangan bersikap naïf, Adore. Apa yang kau inginkan?” Kecam Andrew, ia sendiri mulai tak tahan terus berbicara menggunakan nada tinggi pada gadis didepannya.

Adore tersenyum kaku, “Kau yang jangan bersikap naïf, Kau tau dengan jelas apa yang ku inginkan.”

Andrew melirik sejenak pemuda berambut coklat terang yang memasang tampang tak mengerti, tapi tidak dengan Adore ia melanjutkan kalimatnya.

“Sekarang aku tau kenapa selalu aku yang menangis, sementara kau tak merasa apa-apa.  Sejak awal kau memang tidak pernah memikirkan perasaanku, semuanya hanya ambisimu membalaskan rasa sakitmu sendiri, aku benar kan?”

Rahang Andrew yang semula mengeras sedikit melunak, seolah membalas dendam kali ini Adore yang mengacuhkan perubahan raut wajah Andrew,

“Bagimu aku hanya sebuah nama yang kelak kau kenang sebagai penguji keharmonisan pernikahanmu, kau pasti merasa sangat bangga karena selama setahun ini kau bisa mempertahankan Hanna sekaligus berhasil menyimpan rapat keberadaanku. Tapi bagaimana denganku? Aku lebih dari sekedar meyedihkan… aku ini selingan.”

“Tidak… Kau—“ kalimat Andrew terpotong begitu juga dengan gerakan tangannya, terhenti begitu saja. Penyebabnya adalah munculnya seorang Dokter dengan pakaian serba hijau khas operasi.

            “Mr. Choi…” ujarnya sembari mendekat pada Andrew, “Ada dua kabar buruk,” Andrew menahan napas, bukan Cuma dia tapi Adore dan pemuda berambut coklat terang juga.

            “Pertama, kami tidak bisa mengoperasi kanker usus Ny. Choi karena keadaannya tidak memungkinkan, dia kehilangan banyak darah dan kondisinya sangat lemah…”

            “La—Lalu? Apalagi Dok?” ujar Andrew dengan suara yang mulai serak,

“Ny. Choi mengalami keadaan tidak bisa memberikan respons normal, singkatnya sekarang dia… dia…”

“Koma?” Tanya Adore tak sabar, yang juga berarti menyelsaikan kalimat si dokter.

(Shot IV)

Tidak ada yang bisa mengingat tentang apa yang terjadi pada hari bersalju di awal tahun 2011, tak ada satupun kecuali Adore.

Gadis itu masih bungkam, sangat berkebalikan dengan keadaannya sekitar empat jam lalu, Ia begitu gembira saat menerima telepon di pagi buta dari atasannya yang  mengatakan bahwa Ia mendapat promosi jabatan menjadi seketaris Direktur Pemasaran British Mobile Corporation.

            Sebenarnya tak ada yang buruk dengan Promosi itu, ia bisa mendapat gaji yang lebih besar belum lagi si direktur memiliki wajah yang tampan, sikapnya pun penuh tanggung jawab dan baru berusia sekitar 26 tahun. Tapi masalahnya… Adore mengenalnya, beberapa bulan yang lalu mereka bahkan sangat dekat, terlalu dekat hingga Adore sanggup melukainya.

            “Jika kau tak mau membatalkan promosiku, kau bisa memecatku sekarang juga.” Ujar Adore lagi-lagi mengulangi sejumlah pernyataannya, sementara Pria didepannya masih berlagak sok fokus pada deretan angka di dokumennya.

            “Aku tidak suka membahas sesuatu yang diawali kata ‘Jika’. Kau sendiri tak yakin dengan pertanyaanmu, bagaimana aku bisa menjawabnya.”

Masih dengan menatap ujung stiletto hitamnya Adore berkata, “Aku tidak bisa”

            Pria didepannya berdiri dari tempatnya, dengan dalih penat, ia merenggangkan tangannya.

“Apanya yang tidak bisa, semalam aku telah memecat seketarisku dan sekarang aku membutuhkanmu,” katanya dingin, terdengar jauh lebih dingin ketimbang manik salju yang tengah berjatuhan diluar jendela.

Adore menahan napas, mungkin bermaksud meredam degup jantungnya yang tak karuan, ia takut jika nanti bunyinya mampu terdengar oleh Pria yang kini berada semakin dekat dengan keberadaannya.

“Kau sudah pergi dariku dan sekarang kau ada disini, kau pikir aku akan melepasmu lagi?”

            “Aku sudah melukaimu, Drew.”

            “Kalau begitu sembuhkan aku!” Andrew mengangkat dagu Adore sedikit agar gadis itu bisa menatap iris gelapnya. “Aku mencintaimu Adore… masih sangat mencintaimu,”

Aku bahagia dengar kata cinta mu

Tapi, aku sedih menerima kenyataan,

Bahwa tak hanya diri ku, yang menjadi milik mu

Bahwa tak hanya diri ku, yang menemani tidur mu,

Semburan cahaya hangat menerpa wajah Adore tatkala ia membuka tirai jendela kamarnya, ia tersenyum. Rupanya musim semi hampir berakhir, pikirnya.

            Sejenak irisnya melirik Andrew yang masih terlelap, setidaknya pagi ini Adore kembali menikmati suguhan kumpulan otot bagian atas yang dimiliki Andrew. meskipun sebenarnya gadis itu yakin benar bahwa apa yang dilakukannya salah, tapi ia bisa apa… ia terlalu mencintai Andrew dan tak mampu menutupi betapa ia merindukan sosoknya tatkala Andrew tak bersamanya, melainkan bersama Hanna, istri sahnya.

Bahwa tak hanya… diri ku yang s’lalu,

ada di hati mu, s’lamanya….

Walau pada kenyataannya Hanna tak jauh lebih cantik dari Adore, namun kulitnya seputih pualam dan berpadu anggun dengan legam berkilau rambut panjangnya. Hanna tak banyak bicara, terkesan cuek namun semuanya tertutupi dengan senyumnya yang lembut dan binar matanya yang tulus.

Terkadang Adore menjadi sangat iri jika suatu ketika Hanna mengunjungi kantor Andrew, semua orang seolah langsung mencintainya begitu saja diawal pertemuannya dengan Hanna.

            Mungkin pesona itu pula yang menjerat Andrew delapan bulan lalu, dan sadar atau tidak setiap kali memikirkan Hanna, Adore merasa pedih.

Ini begitu salah, tapi ini juga begitu benar untuk,

aku yang dilanda cinta mu

yang terus membakar aku,

Adore menghapus airmatanya sesaat setelah pintu Ruang ICU tertutup, menatap sejenak tangannya yang penuh noda darah membuat tengkuknya merema ngeri. Sedikit ragu ia menekan angka 1 pada ponselnya yang merupakan panggilan cepat menuju nomor Pria yang ia cintai, atau entahlah… ia tak yakin apa statusnya.

‘Hallo, Adore?’

            “Eum… Drew, aku—“

            ‘Katakan dengan cepat, Dear.’

            “Aku… Aku mencintaimu… Kau… Kau mencintaiku juga kan?”

Sesaat Adore mendengar seseorang mendengus dan itu jelas bukan dirinya,

“Adore jangan sekarang, aku sedang menyetir. Hanna belum kutemukan,”

            “Jawab saja! Well… aku tau dimana Hanna berada,”

            ‘Dimana dia?!’ Adore menelan salivanya cepat, lagi-lagi rasa pedih ini datang menyiksanya.

            “Royal London Hospital,” ujar Adore lemah disambung dengan bunyi ‘tut… tut’ sepersekian milisekon setelah ia menyelsaikan kalimat pendeknya.

Padahal belum sampai lima menit adore mengusap pipinya, tapi sungai kecil kembali  membasahi jejak-jejaknya terdahulu, Andrew langsung bereaksi setelah mendengar nama Hanna disebut, tapi sama sekali lupa bahwa ia belum menjawab pertanyaan Adore.

cinta mu, yang akhirnya membunuh ku….

***

London, 29 November 2012

09:10am

RoyalLondonHospital.

Seorang pria bertuxedo tengah berjalan tergesa-gesa melewati parkiran, dalam batinnya ia tak henti-hentinya berdoa. Istrinya kritis setelah sebelumnya kecelakaan, rahangnya semakin mengeras ketika ia tau yang memberitahunya saat itu bukanlah pihak rumah sakit maupun petugas keamanan melainkan, Adore. Seorang  yang—bagaimanapun juga statusnya adalah— Kekasih gelapnya.

            Lorong-lorong putih tanpa noda berakumulasi dengan bau injeksi, bius dan antibiotik, blah— tak ada yang tau betapa ia membenci tempat ini, Langkah Si pria bertuxedo sempat terhalang oleh ranjang dorong dan beberapa petugas medis yang berlalu lalang hingga ia mencapai tempat yang ia tuju.

            “Mana Hanna? Bagaimana keadaannya?!” cecarnya tanpa repot-repot menahan emosi,

            “Dia.. dia sedang ditangani,” suara lemah menjawab, pemiliknya adalah seorang gadis dengan mantel hijau pastel

            Andrew— pria bertuxedo berang, ia menatap gadis didepannya dengan pandangan mengutuk.

“Ini rencanamu kan, Adore! Kau sengaja!”

Adore tak menjawab, ia malah semakin menenggelamkan kepalanya, tak kuasa menatap Andrew.

            “Kau yang menculiknya kan, Adore?! Jawab aku.” Tuduhan itu terlontar dari bibir Andrew, bibir yang telah menempel di setiap inchi tubuh Adore.

            “A-apa maksudmu? Tidak… aku tidak menculiknya, sungguh.” Ujar gadis itu jujur sementara Andrew menyunggingkan senyum masam menunjukan betapa ia tak percaya apa yang dikatakan kekasih gelapnya.

            “Bohong. Kau—“

            “—dia mengatakan hal yang sebenarnya.” Suara rendah menginterupsi, sesaat sebelum pemiliknya memberi senyum kaku— adalah seorang pemuda berambut coklat terang yang tengah bersandar di dinding, ia menatap beku pada Andrew sebelum mengatakan,

“Tadi malam Hanna bersamaku,”

 Andrew otomatis melotot, “Kau? Siapa? Ah! Kalian berkomplot memisahkanku dengan Hanna?” tukas Andrew akhirnya, Adore sempat terkesiap, tak percaya bahwa Pria yang  ia cintai mengucapkan tuduhan sekeji itu.

            “Cukup, Drew. Aku bahkan tidak mengenalnya,.” ujar Adore dengan nada ketus,

            “Jangan bersikap naif, Adore. Apa yang kau inginkan?” Kecam Andrew, ia sendiri mulai tak tahan terus berbicara menggunakan nada tinggi pada gadis didepannya.

            Adore tersenyum kaku, “Kau yang jangan bersikap naïf, Kau tau dengan jelas apa yang ku inginkan.”

            Andrew melirik sejenak pemuda berambut coklat terang yang memasang tampang tak mengerti, tapi tidak dengan Adore ia melanjutkan kalimatnya.

“Sekarang aku tau kenapa selalu aku yang menangis, sementara kau tak merasa apa-apa.  Sejak awal kau memang tidak pernah memikirkan perasaanku, semuanya hanya ambisimu membalaskan rasa sakitmu sendiri, aku benar kan?”

Rahang Andrew yang semula mengeras sedikit melunak, seolah membalas dendam kali ini Adore yang mengacuhkan perubahan raut wajah Andrew,

“Bagimu aku hanya sebuah nama yang kelak kau kenang sebagai penguji keharmonisan pernikahanmu, kau pasti merasa sangat bangga karena selama setahun ini kau bisa mempertahankan Hanna sekaligus berhasil menyimpan rapat keberadaanku. Tapi bagaimana denganku? Aku lebih dari sekedar meyedihkan… aku ini selingan.”

            “Tidak… Kau—“ kalimat Andrew terpotong begitu juga dengan gerakan tangannya, terhenti begitu saja. Penyebabnya adalah munculnya seorang Dokter dengan pakaian serba hijau khas ruang operasi.

            “Mr. Choi…” ujarnya sembari mendekat pada Andrew, “Ada dua kabar buruk,” Andrew menahan napas, bukan Cuma dia tapi Adore dan juga pemuda berambut coklat terang.

            “Pertama, kami tidak bisa mengoperasi kanker usus Ny. Choi karena keadaannya tidak memungkinkan, dia kehilangan banyak darah dan kondisinya sangat lemah…”

            “La—Lalu?” ujar Andrew dengan suara yang mulai serak,

            “Ny. Choi mengalami keadaan tidak bisa memberikan respons normal, singkatnya sekarang dia… dia…”

            “Koma?” Tanya Adore tak sabar, yang juga berarti menyelsaikan kalimat si dokter.

***

London, 22 Desember 2012

09:19am

RoyalLondonHospital.

Dua Pria baru saja keluar dari kendaraannya masing-masing, yang satu menuruni Chevrolet merah sedangkan lainya tengah menutup kasar Audi R8 Spyder putih, jarak mereka tak jauh dan memungkinkan satu sama lainnya untuk saling menatap.

Andrew sedikit tersentak begitu mengenali siapa pemilik Chervrolet merah, tak lama dengan segan Ia mengangkat tangan dan berujar,

“Hai, Kris.” Katanya disusul dengan senyum yang biasa ia gunakan untuk memenangkan proyek kliennya.

“Mau ketempat Hanna kan?” Kris tak menyanggah tapi juga tak membenarkan, ia diam tak menjawab sementara tanpa sadar langkah kakinya telah melambat dari seharusnya.

“Aku juga mau kesana,” tambah Andrew lagi, kali ini ia disertai gerakan mengangkat sebuket bunga mawar merah yang Ia yakini adalah bunga favorit istrinya, entah didapat dari mana, mengingat sekarang musim dingin, tentunya bunga itu cukup sulit ditemukan.

“Kau sedang libur?” dan akhirnya suara rendah Kris terdengar, Andrew sedikit mengernyit, Ia tak menyangka bahwa dalam cuaca sedingin sekarang suara Kris tetap hangat.

            “Aku Direktur, kau lupa?” ujar Andrew berusaha sedikit melucu dan ketika Kris tak merespon. Ia tau, situasi itu benar-benar tidak lucu.

“Well… kau sendiri?”

            Kris menoleh sedikit, ia sama sekali tak terdengar menyombong saat mengatakan,

“Aku punya beberapa Bar, dan… mereka tak buka saat siang,”

            Dan hening kembali beradaptasi, bahkan ketika mereka memasuki lift dan Kris menekan tombol 11 mereka masih saling diam, memangnya apa yang mau dibicarakan? sebelum ini mereka kan tak pernah saling mengenal,

Dulu ketika Andrew bersiap menempuh dunia perguruan tinggi, saat itu Kris tengah mendapat mobil balap terbaru dari ayah tirinya, atau ketika Andrew sibuk dengan tugas akhir kuliahnya, Kris malah sedang terjerumus dunia ‘terlarang’.

Dua pria yang berasal dari dunia berbeda itu bertemu serta berada dalam ruangan yang sama seperti sekarang adalah… karena… Hanna.

            “Suster Gabrielle bilang, hampir setiap hari kau menjenguk Hanna,”

            Kris mendengus membuat poni coklat terangnya berantakan,

“Jadi kalian menggosipkanku?”

“Tidak. Bukan begitu. Hanna, dia masih istriku… mereka tentu bertanya-tanya alasan kehadiranmu yang terlalu kontinyu,”

“Katakan saja aku mencintainya,” ujar Kris dingin, sorot hazel kelabunya menatap onyx gelap Andrew.

Andrew dan Kris pernah saling berbicara sebelum hari ini, saat itu dengan suka rela Kris menceritakan kisah yang tentunya ia dan Hanna sebagai tokoh utama, sudah semestinya mereka tak lagi membahas siapa yang mencintai siapa seperti sekarang kan.

            “Kau terdengar cukup brengsek saat mengatakan itu, Kris.”

 Bibir atas Kris terangkat sedikit, ia merasa tersinggung atas kalimat Andrew dan merasa tak perlu menutupi nada sinisnya tatkala mengucapkan,

“Kau juga brengsek, Mr. Choi.”

 

Ting!

Pintu lift terbuka, Kris keluar lebih dulu lalu kemudian disusul oleh Andrew.

“Setidaknya aku tau siapa satu-satunya wanita yang aku cintai,” Kris kembali berujar.

            “Kau pikir aku tidak? Aku hanya mencintai Istriku. Hanna.”

            “Kau yakin? Lalu gadis simpananmu?”

            “Aku membencinya,” kata Andrew terlalu cepat, padahal ia sendiri masih tak yakin apa yang ia ucapkan, “Ia telah mencelakai Hanna, dan aku tidak bisa memaafkannya.”

 Kamar Hanna sudah dekat, saat Kris hendak menusuri belokan akhir ia berhenti sebentar.

“Kau mau kuberi tau sesuatu Tuan Choi?”— Kris menghela nafas—“Apa kau tak bertanya-tanya mengapa kekasih gelapmu itu begitu baik pada Hanna? Bahkan disaat ia bisa kabur, ia malah kembali dan menolong Hanna.”

Hah. Kris benar-benar picik, bagaimanapun Andrew mempunyai prestasi cemerlang sepanjang kehidupan pendidikannya, tentu saja Andrew sempat memikirkannya, tapi tak lama rasa bersalah pada Hanna membutanya kembali lupa.

“Sewaktu ia menjenguk Hanna, aku pernah menanyakan itu dan ia menjawab… bahwa dia… dia…”

            “Oh, ayolah. Kau membuat semuanya berjalan lambat, Tuan Wu”

            “Ha-ha, kau bilang kau membencinya.” cibir Kris tapi kemudian rautnya kembali serius,

“Dia sedang mengandung anakmu, dan dia takut jika kelak bayi tak berdosa itu mendapat karma atas kejahatannya.”

***

London, 22 November 2012

09:10am

RoyalLondonHospital.

Hanna Side_

Otot kepalaku sakit, atau mungkin tepatnya seluruh bagian tengkoraknya. Aku baru akan membuka kelopakku sebelum rasa nyeri yang seketika itu juga menyerang. Huh, kuputuskan  saja untuk memejamkan mata sebentar lagi.

Sebenarnya aku dimana, apa dokter sudah mengoperasiku, tapi kenapa rasanya perutku masih sakit, dan astaga, kenapa sedikit berpikir saja sudah membuat kepalaku pening begini.

            Samar-samar bisa kudengar seseorang membuka pintu lalu kembali menutupnya dengan lirih, langkahnya sangat pelan dan terkesan mengendap-ngendap, aku berani bertaruh, dia pasti bukan dokter atau suster, karena cukup lama ia hening terdiam.

“Hai, Hanna. Kita bertemu lagi,”

 suaranya lembut, jelas sekali kalau dia seorang perempuan, tapi siapa?

“Kau tidak ingin bangun? Ini sudah hari ke-dua puluh tiga kau tertidur,”

Du-dua puluh tiga? Tertidur? Oh ya ampun.

“Bangun lah Hanna, hukum aku…” ia menggantungkan kalimatnya dan semoga saja pendengaranku salah, karena saat ini aku berspekulasi bahwa suara yang kudengar adalah Ia yang sedang terisak.

Sebuah Kisah tertulis indah di masa lalu

Tak teraba oleh hati siapapun…

“Aku sudah berhenti menjadi seketaris Andrew, dan selama kau tidur aku bahkan tak pernah menemuinya. Meskipun begitu, aku tau aku tak mungkin termaafkan…”

Well, Ini semakin gila, jadi dia… seketaris Andrew, err— mantan seketaris Andrew? Dan aku belum mengerti apa yang ia maksud dengan tak termaafkan, dosa apa yang telah ia lakukan?

            “Tapi izinkan aku memilikinya Hanna… biarkan aku memiliki bayi kami,”

            Bayi… Bayi kami? Meminta izinku untuk memiliki ‘bayi kami’ ? Oh Tuhan, apa yang ia maksud bayinya dan Andrew? Aku tidak sedang bermimpi kan.

Hingga kau hadir dengan segala kelemahanmu

Cacat hidupmu menyempurnakanku,

Andrew memang seorang sempurna, tapi bukan tak mungkin aku pernah berpikir bahwa peristiwa-peristiwa sepele—seperti, seringnya Ia meninggalkanku dengan alasan bisnis, atau pulang pagi karena kliennya minta di temani pesta, juga alasan mengapa ia tak memberi tahuku password ponselnya— terasa sedikit janggal.

Apa ini jawabannya… benarkah suamiku yang sempurna telah mengkhianatiku atau mungkin pengakuan yang di sertai isak tangis ini adalah sebuah kebohongan?

“Aku akan pergi dari kehidupan kalian, pasti akan sangat sulit tapi aku akan mencobanya.” Katanya lirih,

Aku diam, menyelami celah-celah sempit dihatiku… Kurasa tak penting mana yang benar. Sepertinya aku memang tak pantas bersanding dengan Andrew, selama ini aku sibuk menjaga perasaannya hingga lupa jika sebenarnya aku tak pernah mencintainya.  Seseorang terlalu membuatku terluka dan parahnya aku malah tak pernah mampu melupakannya.

Kesakitanku bertambah pahit

Ketika harus aku akui

Aku menahan rasa cintaku untukmu

Namun kau tetap ada…

“Adore?! Apa yang kau lakukan disini?”

 Suara berat ini… pasti… pastilah—

“Hal buruk apa yang kau rencanakan sekarang? Apa belum cukup kau menabrak dan membuatnya koma?”

 Menabrakku? Jadi gadis ini sangat menginginkan Andrew hingga ia mencoba membunuhku?

            “Aku hanya menjenguknya, aku tidak bermaksud jahat,”

            “Sudahlah Tuan Choi, Hanna sedang tidur… tak perlu membuat keributan,”

 Dan suara ini…Tidak, tidak mungkin…

Kau hadir dalam bayangan yang tak pernah ku anggap

Kau ada di dalam bayangan semu…

“Berhenti membelanya, Kris.”

Kris? Di-disini? Diantara Andrew dan gadis itu…  apa yang harus kulakukan sekarang? sudah terlalu lama aku hidup dalam ke pura-puraan, tak bisakah seseorang menyelamatkanku? Sampai kapan aku terjebak pada pilihan-pilihan hidup yang selalu berefek samping begini, bahkan ketika aku kira hidupku sudah cukup normal, masih ada yang terluka disisi lain ketika aku gembira,  memang aku siapa hingga kebahagiaanku— yang berpura-pura— membuat derai airmata gadis lain?

 Ahh.. bolehkah aku meneruskan kepura-puraan ini dan dengan menambahkan sedikit kebohongan? Baiklah aku memang sangat egois.

***

“Berhenti membelanya, Kris.”

 Kris menghela nafas pendek, “Aku tidak membela siapapun, aku hanya tidak suka tidur Hanna tergang—“

Kris menelan kembali kalimatnya, wajah tampannya menegang, membuat sepasang manusia didepannya menjadi penasaran dan kemudian ikut melayangkan pandangannya pada Hanna yang tengah terbaring.

“Astaga,” pekik Adore setengah tersentak ketika kelopak Hanna yang semula tertutup rapat perlahan terbuka dan mengerjap beradaptasi dengan cahaya, jemarinya bergerak kaku dan sepersekian detik selanjutnya ia berujar lirih,

“Dimana aku?”

“Hanna, kau… kau ada dirumah sakit, Dear.”

Hanna mengerjap sekali pada Andrew, menatapnya lama seolah itu adalah pertemuan pertama mereka.

            “Hanna? Siapa Hanna? dan Kau… siapa?”

 Andrew dan dua orang lainnya yang berada dikamar itu sontak bereaksi heran dengan kalimat Hanna— atau tepatnya, kalimat dusta Hanna.

“A-apa maksudmu, Dear? Aku adalah Andrew… suamimu,”

Hanna diam dengan wajah datarnya, kemudian menoleh kekanan tempat Kris dan Adore berdiri,

“Kris? Kris apa yang terjadi padaku! Kris aku takut!” teriak Hanna heboh sementara Kris segera memeluk kedua bahu Hanna yang bergetar,

Keributan itu berlanjut dengan para medis yang berdatangan, Andrew heran dan sempat menanyakan mengapa istrinya tak mengingat semua yang mereka lalui dan hanya mengingat Kris.

            Hanna bahkan memilih tinggal bersama Kris dan meminta penandatangan surat perceraian mereka segera setelah Ia bisa bangun dari ranjangnya. Beberapa Dokter mendiagnosis bahwa terjadi trauma klinis yang mempengaruhi ingatan Hanna, tapi itulah yang diharapkannya. Tak masalah sedikit berbohong dan pura-pura asal dia bisa bahagia.

Kau merindu dan membuatku jatuh kepadamu

Kau menyayangku dan buatku berkata

Ku temukan penggantinya…

 (Winda : Kutenukan Penggantinya)

***

Tower Hamlets, 11 Januari 2013

09:19am

Penelove café

Andrew tengah bersedekap, Ia menikmati suguhan pemandangan salju yang dengan derasnya menghujani kota, Ia belum memesan apapun karena memang tujuan sebenarnya datang kesini bukan semata karena secangkir kopi, melainkan…

“Tuan, anda mau pesan sesuatu?”

Andrew melirik sekilas gadis berpakaian setelan hitam putih khas pelayan yang berdiri disampingnya,

“Pulanglah, Adore.” Ujar Andrew, mengabaikan pertanyaan yang di ajukan padanya sesaat yang lalu.

“Apa anda mau moccacino dan tiramisu?”

“Adore, aku datang untuk menjemputmu.”

Adore melirik sekilas Andrew sekilas, wajah cantiknya terlihat begitu letih, setelah keluar dari perusahaan Andrew ia harus bekerja keras disana-sini, dengan keadaan mengandung tentunya.

“Jika anda tak ingin memesan sekarang—“

“— kau lupa? aku tidak suka menjawab pertanyaan yang diawali kata ji—“

“Apa yang kau inginkan, Tuan?” ujar Adore geram, ia tak peduli atas tatapan ngeri yang didaratkan pengunjung lain padanya.

“Kau,” ucap Andrew otomatis. “Pulanglah bersamaku, jadilah Nyonya Choi, Adore.”

“Hah. Apa yang kau maksud menjadi simpananmu? Atau… Hanna benar-benar tak bisa mengingatmu jadi kau datang padaku dan menjadikanku pengganti Hanna atau mungkin malah hanya pelampiasanmu lagi?”

            “Sudah selesai?” Andrew memijit pelipisnya yang terasa nyeri, Pengunjung lain yang semula sibuk dengan aktifitas bercakapnya pun mulai hening,

             “Pengganti Hanna? Omong kosong… menjadi istriku memang adalah tempatmu, bodoh. Meskipun dulu kau pergi dan memberi kesempatan bagi Hanna untuk menempatinya sementara, tempatmu memang disana, Adore.”

            “Lagi pula, kau membawa sebagian diriku dalam dirimu, err— maksudku…” Andrew menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, “Bayi kita, bagaimana kabarnya hari ini?”

            “Bagus. Jika dulu kau menggunakan perasaanku untuk membelengguku, sekarang kau memakai bayi ini sebagai senjata baru?” tukas Adore diimbangi lukisan senyum sinis.

Andrew menghela nafas, sementara para pengunjung lain tengah menahan nafas menunggu reaksi Pria tampan itu,

“Aku tau seharusnya aku bisa lebih cepat mengatakan ini, Aku mencintaimu, Adore. Kau selalu membuatku harus menjadi seorang yang terlalu egois.”

            Adore diam mematung meski seharusnya ia berkoar tentang rasa sakitnya, Ia sudah memiliki bayinya dan mestinya itu sudah lebih dari cukup. tapi Adore sendiri sadar bahwa setiap bagian dirinya merindukan Andrew, dan setiap bagian dirinya itu pula yang sekarang sedang mengkhianatinya.

Ketika bibirnya tetap terkatup. Ia, Andrew dan mungkin semua orang ditempat itu tau bahwa dia telah menerima Andrew kembali. Pria itu mendekat pada Adore, begitu hati-hati seakan takut akan sesuatu yang tak terdefinisi, sejenak ia berhenti sesaat sebelum Ia membawa Adore dalam pelukannya dan kembali mengatakan mantra ‘pembelenggu-nya’.

 “Aku mencintaimu, Adore. Kita akan selalu bersama.”

 Adore tak bersuara, Ia terlalu bahagia mendengar kalimat paling pasaran sedunia yang di ucapkan Andrew. Dan sekali lagi, pria itu sanggup memenuhi perasaannya yang sempat beku dengan kehangatannya.

Kau hadir dalam bayangan yang tak pernah ku anggap,

Kau ada didalam bayangan, semu…

Kau merindu dan buatku jatuh kepadamu,

Kau menyayangku dan buatku berkata…

Kutemukan penggantinya.

            Alkisah disuatu waktu, disebuah rumah sederhana ditengah kotaLondon, sang istri berlari-lari menaiki tangga mengacuhkan perutnya yang sepenuhnya sedang membesar.

            “Kris! Remote TV-nya rusak, aku mau nonton TV!” suara melengkingnya sudah terdengar sebelum Ia benar-benar melihat wajah dari Pria yang dipanggilnya Kris.

            “Ssttt,” Kris membentuk angka satu dengan telunjuk, mengintruksi padanya agar tidak ribut,

“Dia baru tidur,” kata Kris sembari sesekali melirik bayi laki-laki berumur dua tahun yang tertidur lelap dalam boxnya.

            “Ah, sejak dia lahir kau selalu mengabaikanku! Menyebalkan!”

Kris tersenyum, membuat sebagian besar kekesalannya perlahan-lahan menguap tapi Ia tetap memasang tampang cemberut.

“Hanna sayang, jangan begitu… remotenya rusak kenapa? Apa kau sudah mengganti baterainya?” ujar pria itu merentetkan pertanyaan.

            “Entahlah, mungkin rusak karena tadi aku gunakan untuk melempar alpaca”

“Apa?! Kau melempar anjing kesayangan Kai?”

            “Astaga, Kris. Kai baru berumur dua tahun, mana mungkin dia mengerti dengan istilah Anjing kesayangan!” bantah Hanna tak rela,

            “Tapi alpaca adalah pemberian Serka, putri keluarga Choi. Tega sekali kau.”

            “Hah. Jadi sekarang setelah Kai kau juga membagi cintamu untuk Serka?”

 Kris mendelik, “Ya ampun, Hanna. Dia bocah berumur 4 tahun”

            “4 tahun 10 bulan, Kris. Hampir 5 tahun!” bantah Hanna lagi, ia begitu bersemangat sekarang.

            “Lantas? Aishh… sudahlah. Mana remotenya?” Kris merampas remote yang Hanna genggam lalu berlalu menuju tangga, namun sesaat sebelumnya Ia berhenti sejenak, menatap wanita didepannya dengan sorot kelabu yang masih serupa binar kehangatannya dengan saat mereka mengucap sumpah sehidup semati, tiga tahun yang lalu.

“Hei, Hanna. Terimakasih,”

 Hanna menautkan alis hitamnya, “Untuk?”

 Kris kembali tersenyum, sangat manis dan begitu tulus.

“Terima kasih telah memilihku,”

END ^^

 

 

Adore’s note : Thanks a lot to Serka Kim, my lovely Jadie^^ yang udah rela-rela keliyengan buat ff ini.. Seneng akhirnya kisah rumit ini akhirnya happy ending^^

Hahah…Hanna terimalah brondongmu si Kris Wu itu dengan lapang dada..^^v

Bang Siwon, aku juga mencintaimuuu…

Muachhh…muachhhhhhh