Image

Adorable Love (2nd Sequel) presented by Giadore Shin

531587_466899343320728_1507858539_nCast :

  • Giadore Shin
  • Cho Kyuhyun as Marcus Cho

Support Cast :

  • Wina Marchi as Minami Jung
  • Kim Ryeowook as Nathan Kim
  • Choi Siwon as Prof Andrew Choi
  • Hana Cuncun as Hana Chun (special guest cast)

Genre : Fluff

Length : Oneshoot

Rating : T-15

Disclaimer : This is mine. don’t Bash and don’t copas without my permittion. The actors are belong to themselves. Minami and Hana are my friends. and Giadore is mine.

Warning : Please give me your comment after you has been read my story. gamsahamnida^^

Please visit my WP in :

ayugiadore.wordpress.com

Happy Reading!!^^

***

Giadore merogoh ponsel dari jaket merah maroon yang melekat ditubuhnya ketika dia merasa getaran yang menandakan pesan masuk. Tak lama setelah membaca isi pesan itu, bibirnya yang dipoles lipgloss dessert rose tersenyum geli.

Yup, tebakan kalian benar!

Si bodoh Marcus adalah pengirim pesan itu.

Ada alasan dia untuk tersenyum?

Aisshh, lihat, wajahnya saja merah padam begitu. Hahaha..

***

Sampai ketemu di kampus, My Shawty.

Take care :*

Marcus tersenyum setelah melihat laporan terkirimnya pesan itu lalu memasukan ponsel putihnya kedalam saku celana jins biru yang tampak cocok ditubuh jangkungnya dan dipadu kemeja kotak-kotak merah. Dengan semangat pagi yang meluap serta senyum yang tak lepas dari bibirnya, Marcus membawa Lamborgininya menembus jalan raya yang tampak ramai mengingat matahari hampir berada dipuncaknya.

***

Giadore sedang berkutat dengan buku-buku tebal di atas meja berwarna hijau tua. Sesekali dia mengetuk pena bulu ditangannya ke keningnya. Tampak frustasi dengan rumusan yang membuatnya mengutuki siapa yang sudah menciptakan rumus-rumus sialan itu.

Dengan malas, Giadore meletakan kepalanya diatas meja dengan buku tebal sebagai alasnya lalu mendesah kuat, “Ahhhh..kenapa si Marcus bodoh itu lama sekali?!!”

***

Marcus memasuki perpustakaan kampusnya yang terlihat cukup lengang, dia mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Dan bibirnya tersenyum saat dia menemukan orang yang dia cari. Dia melangkah ke arah gadis itu dengan perlahan tak ingin menimbulkan bunyi sekecil apapun. Kakinya berhenti didekat sebuah rak yang tak jauh dari gadisnya, bermaksud untuk sejenak menikmati wajah gadis yang kini resmi menjadi kekasihnya.

Dia bersandar pada rak itu sambil mendekap tangan di depan dada dengan senyum yang tetap bertengger dibibirnya setiap melihat gerakan gadis itu dan dia beruntung gadis itu terlihat sangat serius bahkan terlihat hampir…frustasi sehingga tak menyadari keberadaannya.

Giadore Shin, gadis itu. Selalu berhasil memporak-porandakan denyut jantungnya, bersyukur dia tak mengidap penyakit jantung kronis yang mungkin bisa membuatnya mati mendadak dan sepertinya mulai hari ini dia harus sering berkonsultasi dengan dokter spesialis jantung untuk mengontrol denyut jantungnya yang mulai bekerja diluar batas normal.

Dia menggigit bibir bawahnya yang tebal, menahan tawa saat Giadore mendesah frustasi dengan buku-buku itu.

“Aaahhhh…kenapa si Marcus bodoh itu lama sekali?!!”

Senyum tertahan dibibir Marcus berubah menjadi ringisan kesal saat mendengar ucapan Giadore.

Gadis ini benar-benar.

Membuatnya benar-benar ingin selalu mencium bibir nakal gadis itu.

“Marcus bodoh-mu itu ada disini, Sayang.”

Giadore mengangkat kepalanya cepat dan matanya membulat saat mendapati Marcus berdiri dihadapannya dengan gaya yang membuatnya…err…tampan.

Oh sial, jantungnya kembali berulah!

Giadore mengerjap pelan lalu membuang pandangannya dari Marcus dan merutuki mulutnya yang berteriak sembarangan.

Marcus tersenyum manis dan mengambil tempat untuk duduk dihadapan Giadore. Dia meletakan tangannya diatas meja dengan mata yang menatap antusias gadisnya. “Bukankah kau mencintai pria bodoh-mu ini, Sayang?”

Giadore menoleh cepat pada Marcus ingin mencoba protes namun dia hanya bisa menegang dengan jantung yang berdebar maksimum saat Marcus mencium dalam-dalam bibirnya dengan singkat. Aromamint dari bibir Marcus masih terasa dibibir Giadore meski Marcus sudah melepaskan ciumannya. Bahkan pena bulu yang dipegangnya terjatuh begitu saja dari tangannya.

“Morning kiss, Dear,” ucapnya santai dengan senyuman yang kembali membuat pipi Giadore memanas.

Marcus mengambil alih buku-buku dihadapan Adore dan mulai meringkasnya membiarkan Adore yang masih mencoba menetralkan denyut jantungnya dan sebenarnya tak jauh berbeda dari Marcus yang hanya pura-pura sibuk dengan buku-buku itu.

***

Minami memandang aneh wajah Giadore yang terlihat sumringah bahkan Minami bisa melihat jelas wajah sahabatnya itu memerah.

“Apa kau baru saja memenangkan jackpot, Adore?”

Giadore yang sedang sibuk dengan laptopnya menoleh sekilas pada Nami dengan alis bertaut, “Jackpot?” Namun dia kembali tersenyum, “…aku tak punya waktu untuk itu, mate.” Giadore kembali menekuni kegiatannya, mengetik tugas hukuman dari Profesor Choi.

Haruskah sekarang dia berterima kasih pada si killer itu atas tugas yang malah menolong hubungannya dengan Marcus?

Minami semakin mengerutkan keningnya saat mendengar Giadore terkekeh geli. Matanya mengintip sedikit apa yang sedang diketik gadis itu sampai membuat sahabatnya itu terkekeh sendiri.

Namun Minami hanya menggeleng prihatin, “Sepertinya rumusan itu membuatmu jadi gila, sobat.”

Beruntung Giadore tak mendengar ucapan Minami karena sibuk dengan fantasi gilanya, kalau tidak mungkin Minami akan mendapat lemparan diktat tebal miliknya.

***

Giadore merenggangkan tubuhnya yang pegal, jari-jarinya seperti mau bengkok setelah seharian mengetik tugas itu. Dia keluar kamar dan mendapati Minami sedang asyik dengan ponsel ditelinganya. Tanpa harus bertanya dia tahu dengan siapa sahabatnya itu sedang mengobrol.

Nathan Kim.

Terkadang dia kagum dengan sikap sabar pria manis itu menghadapi sahabatnya yang cerewet nan menggemaskan. Namun itulah hati, mereka akan menerima dengan terbuka seseorang yang sudah menjadi takdirnya.

Bukankah sama seperti kisahnya, Marcus, pria menyebalkan yang dalam mimpi pun dia membenci kehadirannya namun sekarang dirinya seolah selalu mengharapkan pria itu tetap disampingnya. Dia membenci pria itu. Namun dia sangat mencintai pria itu dan dia mengakui itu…hanya dalam hati.

Dia tak bisa membayangkan bagaimana besar kepalanya pria itu seandainya dia mengatakan hal itu langsung.

Marcus-ku yang bodoh.

“Apa rumusan itu membuatmu jadi gila, Adore?”

Giadore hampir tersedak minumannya saat Minami dengan santai berdiri di belakangnya dengan berkacak pinggang.

“Kau mengaggetkanku, Nami,” sungutnya kesal, lalu berjalan menghampiri Minami setelah memasukan botol minumannya kedalam kulkas.

“Apa aku melewatkan sesuatu tentangmu, sobat?”

Giadore menatap Minami sejenak.

Apakah dia harus menceritakan hubungannya dengan Marcus…sekarang?

“Baiklah, aku tahu. Pasti ini ada hubungannya dengan si Tuan Cho itu? Benarkan?”

“Apa?” Giadore menelan ludahnya cepat, menatap takjub pada sahabatnya itu.

Sejak kapan Minami Jung berubah profesi menjadi cenayang?

***

Giadore menapaki sisi jalan trotoar yang tampak bersih dari daun-daun musim gugur. Angin malam tampak berhembus menurut kemauannya, tidak mempedulikan orang-orang yang beraktifitas di malam hari. Giadore merekatkan cardigan panjangnya, mencoba menghalau desiran angin malam yang nakal. Kalau bukan karena perutnya yang tidak bisa diajak kompromi mungkin saat ini dia sudah terlelap diranjangnya yang hangat.

Giadore menyentuh perutnya saat bunyi memalukan itu keluar, menggerutu sebal karena jarak minimarket lumayan jauh dari apartmentnya.

Giadore menghela nafas pelan, pikirannya mengingat kejadian tadi. Dia memutuskan untuk memberitahu Minami hubungannya dengan Marcus Cho. Giadore sempat kesal dengan respon Minami yang tertawa ketika dia beranggapan dugaannya benar.

Dari awal mengenalmu dan Marcus, aku yakin, kalian berdua adalah takdir.”

Takdir?

Apakah dia harus bahagia mendengar kalimat menggelikan itu??

Giadore juga terkejut saat Minami mengatakan dengan kesal pernah melihat mereka berkencan diLotte World dan jelas itu membuat wajah Giadore merah padam, “Kau bahkan berkencan diam-diam dengan pria itu. Kau anggap apa aku ini, hah?”

Dan Giadore hanya bisa mengucapkan maaf. Sebenarnya itu bukan kencan, lebih tepatnya ajakan paksaan dari Marcus.

Tunggu…

Pria dan wanita dewasa yang bukan saudara berjalan bersama sambil bergandengan tangan, bukankah itu bisa disebut kencan?

“Ya…kami memang berkencan, bahkan sekarang benar-benar berkencan.” Giadore tersenyum manis. Dadanya lagi-lagi berdebar setiap mengingat tentang pria itu.

Tak terasa, akhirnya Giadore tiba didepan minimarket.

Lekas dia langsung mengambil keperluan bulanannya yang sudah habis dan tidak lupa beberapa cupmie instan. Setelah merasa cukup , dia berjalan ke meja kasir untuk membayar seluruh belanjaannya dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya keluar dari minimarket untuk pulang.

***

Giadore melirik jam tangannya yang menunjukkan hampir jam 10 malam. Angin malam musim gugur berhembus kencang semakin menusuk kulit putihnya. Sepertinya hujan akan datang. Giadore mempercepat langkahnya sambil merapatkan cardigannya dengan tangannya yang bebas. Rambutnya yang tergerai teracak kasar akibat angin yang semakin kencang.

Dan benar saja, tetesan air mulai turun pelan lalu deras, menyemburkan berliter-liter air cuma-cuma dari langit. Beberapa pejalan kaki termasuk Giadore mencoba menyelamatkan diri mereka dari dinginnya air hujan malam hari. Giadore berlari cepat menuju sebuah Restoran 24 jam untuk berteduh.

“Aishh, aku basaahhh,” rutuknya sambil mengelap sisa-sisa air hujan yang menempel diwajah dan tubuhnya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan hawa dingin ditambah tubuh serta pakaiannya yang basah membuatnya menggigil.

Giadore mengusap tubuhnya yang terkena sisa-sisa air hujan dengan tangannya setelah meletakkan bungkusan itu terlebih dahulu. Air hujan bukannya mereda namun malah semakin deras membuat suasana malam sangat dingin dan mencekam. Dia kembali menggerutu jika mengingat seandainya saat ini dia berada dikamarnya yang hangat atau setidaknya ada dipelukan hangat Marcus bodoh itu. Tapi dia masih cukup waras untuk tidak mengganggu jam istirahat Marcus, apalagi disaat sekarang ini.

Aiisshh…apa yang kau pikirkan, bodoh.

Adore mengulum senyum malu-malunya saat dia malah mengingat Marcus-nya itu. Hatinya berdesir hangat, setidaknya mengurangi rasa dingin yang tengah dialaminya.

Dia mendesah pelan, “Seandainya si bodoh itu ada disini.”

Sepertinya jawaban Adore terjawab, hazel itu menangkap siluet tubuh sosok yang tengah berkeliaran di otaknya. Pria itu memasuki restoran 24jam yang tengah dijadikannya tempat berteduh dengan berlari kecil. Dadanya berdebar kencang. Bibirnya tersenyum manis. Apa ini artinya mereka jodoh?

Namun senyum itu hilang. Debaran didadanya berubah menjadi pukulan keras yang menghantam telak saat seorang gadis bermabut sebahu keluar dari mobil pria itu dan berlari kecil menyusul pria itu. Gadis itu melingkarkan tangannya dilengan pria itu dengan senyum yang membuat Adore hanya terdiam di tempat. Dia hanya menatap nanar pria itu, pria yang sangat Adore harapkan keberadaannya namun sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Tubuhnya yang kedinginan itu makin bergetar hebat. Dia meremas cardigannya dengan kencang menahan sesuatu yang terasa sakit didalam sana. Urat-urat matanya berkedut yang membawa efek panas lalu menghasilkan cairan yang dibendung kantung matanya. “Ma-marcuss…” gumamnya lirih.

Marcus dan wanita itu duduk disatu meja persegi dengan senyum dibibir mereka dan sepertinya itu akan menjadi pemandangan paling menyakitkan tahun ini untuk Adore. Dia tak menyangka pria itu ternyata sama saja dengan pria lainnya. Menjalin hubungan tidak untuk satu wanita. Pria yang baru resmi menjadi kekasih dengan waktu singkat dan kini harus berakhir dengan singkat juga. Terlalu bodoh memang bahkan mungkin kata bodoh itu lebih cocok untuknya; mempercayai begitu saja ucapan pria brengsek itu.

Menyesal?

Dia menyesal percaya pada pria itu, menyesal karena sempat menyambut perasaan pria itu, menyesal karena membiarkan pria itu tahu perasaannya.

(Backsound : Davichi – Do Men Cry)

Giadore mendudukan dirinya dibangku tepi jalan dengan pandangan kosong, membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. Dia tidak sadar telah berjalan menembus hujan malam yang deras, tak peduli dengan belanjaannya yang tertinggal ditempat itu. Saat ini yang ia tahu, hatinya terluka..sakit dan sesak. Membiarkan air hujan membasahi lukanya yang makin terasa perih. Dia terisak dengan tubuh yang bergetar hebat. Air mata dan air hujan seolah menyatu dalam tangisannya.

“Nami, kenapa patah hati rasanya semenyakitkan ini?”

***

Marcus memandang makanan dihadapannya dengan malas, bibirnya pun lelah untuk pura-pura tersenyum. Gadis dihadapannya ini memang keras kepala dan menyebalkan.

Marcus mengerang kesal dalam hati jika mengingat bagaimana gadis itu memaksanya untuk menemani gadis itu makan dimalam hari yang sedang hujan, deras pula.

“Kau tidak makan?”

Marcus hanya bergumam pelan,”Tidak.”

Dia lebih memilih memandang hujan diluar restoran dari pada menatap wajah menyebalkan gadis itu.

Gadis itu mengembil serbet lalu mengelap bibirnya dengan gaya se anggun mungkin namun tampak semakin menyebalkan ketika ekor mata Marcus menangkap tingkah gadis itu.

“Bisakah kau ubah ekspresimu itu, heoh?? Kau makin tua, kau tahu.”

Marcus mendelik kesal. Gadis itu menyebalkan sekali. Sudah memaksanya kemari, sekarang memaksanya lagi untuk tersenyum.

Gadis stres!

“Kalau kau sudah selesai, sekarang aku antar pulang.” Marcus berdiri cepat namun tangannya ditahan gadis itu. “Apa lagi nona Clawra Park?”

“Diluar masih hujan, apa tidak sebaiknya kita minum sesuatu yang hangat dulu?”

Marcus menyingkirkan tangan Clawra lalu berucap lelah, “Jika kau tahu sekarang hujan, kenapa kau mengajakku keluar, huh?” Dia mengerang melihatgadis itu cemberut. “Besok aku ada kuliah pagi, tolong mengerti.”

***

Lamborgini itu menembus hujan yang masih setia menumpahkan airnya secara cuma-cuma. Didalamnya Marcus membiarkan Clawra menggerutu kesal karena dressnya basah dan sesekali mendelik pada Marcus yang tak peduli. Dia hanya fokus pada kemudinya.

Sementara itu di bangku tepi jalan, Giadore pun masih bergeming. Kakinya beku dan serasa lumpuh. Dia tak peduli apa kabarnya besok pagi. Tidak, karena kejadian itu yang jelas jawaban kalian sudah tahu. Dia tidak akan baik-baik saja.

Marcus menambah kecepatan mobilnya saat Clawra semakin cerewet dan itu menambah pusing kepalanya. Dia mengernyit saat melihat seseorang tengah duduk dibangku tepi trotoar ditengah derasnya hujan malam. Wajah gadis itu tertutupi rambutnya yang tampak berantakan membuat Marcus tidak dapat melihat jelas sosok itu.Tapi sepertinya mirip…. Ahhh… Toh itu juga bukan hal penting untuknya bukan??

Mungkin dia gadis gila.

“Siapa yang kau maksud gila, Marcus?!” Ternyata gumaman Marcus didengar telinga jeli gadis disampingnya.

Marcus kembali ke alam sadarnya saat suara Clawra naik dua oktaf. Tak berniat menjawab teriakan yang membuat telinganya berdengung.

Dia menggeleng dan mendesah pelan. Ternyata gadis gila yang sebenarnya ada disampingku. Sialnya!

“Ya, Marcus! Kau mendengarku, tidak?”

***

Kemarin -tepatnya sebelum kejadian tadi malam- dia dan Marcus sudah meminta izin Profesor Choi menggunakan Ruangan Biology Labor untuk menyelesaikan tugas mereka. Mereka berhasil. Tapi tentu saja dengan perjuangan tidak mudah. Giadore masih ingat bagaimana mereka meminta tolong kepada Miss Hana Chun, atau lebih tepatnya kekasih Profesor Choi yang merupakan dosen bahasa inggris. Wanita cantik itu memang baik hati dan sangat berbeda dengan sifat Profesor Andrew Choi yang killernya se bima sakti.

Siang itu di ruangan Profesor Choi.

“Boleh ya, Profesor?” Giadore memasang tampang memelasnya yang membuat Marcus ingin mencium gadis itu andai Profesor killer itu tidak ada dihadapan mereka. Giadore tetap mempertahankan ekspresinya meski dia tahu itu akan sia-sia. Ketika Profesor Choi mengalihkan pandangannya, Giadore menyenggol bahu Marcus, memberi kode yang langsung di mengerti Marcus.

“Tetap tidak….”

“Andrew..”

Tepat saat Profesor Choi ingin memberi keputusannya, masuklah wanita anggun itu, Hana Chun.

Dan kita tahu bagaimana respon si killer. Terkejut.

“Hana..?”

Hana Chun tersenyum manis lalu menghampiri meja Profesor Andrew Choi. Dia menunduk dan memberi kecupan ringan di pipi Andrew yang jelas makin membuat pria itu menganga.Lalu mengambil tempat berdiri di samping tempat duduk Profesor Choi.

Giadore dan Marcus memang merasa bersyukur ternyata dosen cantik itu bersedia untuk menolong mereka tapi tidak mesti bermesraan didepan mereka juga, kan?

Membuat iri saja, batin Marcus envy.

Sedang Giadore hanya menunduk. Malu, lebih tepatnya. Apalagi disampingnya ada Marcus yang berotak mesum. Heuhh…kenapa wajahku ikutan memerah?

Hana tersenyum pada Andrew lalu tersenyum pada Giadore dan Marcus. “Profesor pasti memberi izin pada kalian, iya kan, Andrew?”

Profesor Choi yang sadar dari lamunannya tersipu sejenak lalu tersenyum manis ke arah kekasihnya, menampakkan sudut-sudut manis dikedua pipinya. Manis.

“Baiklah. Kalian boleh gunakan ruangan itu.”

Dan itu jelas membuat Marcus terlebih Giadore menganga. Jelas! Bukan karena jawabannya tapi karena ini pertama kalinya Profesor killer itu mengeluarkan senyumannya. Dan itu membuat Giadore mengakui bukan saja sifatnya yang killer tapi senyuman pria itu amat sangat killer.

Marcus menoleh dan sangat kesal saat mendapati Giadore masih menatap Profesor itu. “Bola matamu hampir mau keluar, Sayang!”

Bisikan itu memaksa Giadore menoleh kaku pada Marcus. Dia tertawa meringis melihat tatapan Marcus.

“Apalagi yang kalian tunggu? Kalian boleh gunakan ruangan itu tapi jika kalian melakukan hal-hal seperti kemarin lagi, kalian akan tahu akibatnya. Mengerti!”

Interupsi itu langsung menghentikan pertikaian singkat Giadore dan Marcus. Mereka mengangguk dan membungkuk dalam duduknya.

“Gamsahamnida, Profesor.”

Giadore berdiri diikuti Marcus. Setelah membungkuk sekali lagi, mereka keluar dari ruangan itu.

***

Giadore menahan denyutan hebat di kepalanya. Pandangannya agak buram karena mengantuk efek dari obat flu yang diminumnya tadi pagi. Dia mendesah mengingat tingkah Minami tadi pagi yang mendapati dirinya demam. Gadis itu meneriakinya dan pontang-panting menyiapkan bubur hangat dan air jahe untuknya. Dia menyesal membiarkan dirinya sakit karena itu akan merepotkan sahabatnya. Tadi juga Minami berpesan agar dia izin dari kampus namun Giadore menolak dan Minami kembali meneriakinya.

Maafkan aku, Minami.

Dia harus secepatnya menyelesaikan tugas dari Profesor Choi, jika ingin cepat-cepat menjauh dari lingkaran hidup bersama pria itu.

“Sshhh…” Giadore memegang kepalanya yang kembali berdenyut. Dia harus segera ke ruangan biology labor sebelum pria itu tiba lebih dulu.

***

Morning, dear.” Marcus tersenyum saat mendapati Giadore sudah menunggunya di ruangan biology labor. Pria itu menghampiri Giadore yang sibuk dengan alat-alat penelitiannya.

Tak menyadari Giadore yang menegang ditempat. Dia memang sudah mencoba untuk bersikap normal tapi gagal jika pria itu sudah berada dalam jarak dekat seperti ini. Beruntung dia memunggungi pria itu sehingga tak perlu melihat respon darinya. Namun sepertinya salah, hal itu membuatnya malah sial. Marcus dengan santainya malah memeluknya dari belakang yang justru membuatnya makin menegang. Jantungnya berdebar kencang saat pria itu malah mencium lehernya singkat namun memberi efek keterlaluan untuk jantungnya. Giadore meletakan alat yang dipegangnya sebelum nanti jatuh akibat tangannya yang bergetar.

“Marcus, kau tidak lupakan ucapan Profesor Choi?” tanya Giadore disela nafasnya yang hampir putus dan dia bisa mendengar gerutuan Marcus.

Pria itu kesal. Dia baru saja menikmati kebebasannya dari gadis Park yang menyebalkan itu. Dan dia menunggu hari ini untuk melepas penatnya bersama gadisnya namun apa? Memang gadis itu benar, tapi Profesor Choi kan sedang tidak ada?

Setelah Marcus melepaskan tubuhnya, Giadore duduk di kursi yang terbuat dari plastik, yang ada di ruangan itu. Marcus mengikutinya dan mengambil tempat ditempat Giadore. Dia terkejut mendapati wajah Giadore yang…

“Kau sakit, dear…ahh..”

“Tidak.”

Marcus terhenyak ditempat. Dia tak menyangka Giadore akan menolak saat dia ingin menyentuh wajah gadis itu. Namun Giadore tidak peduli, dia mencoba fokus pada alat tulisnya, menulis laporan hasil penelitiannya tadi.

Marcus mendesah, mencoba menetralisir rasa didadanya. Dia bersandar, mencoba rileks.

“Kau kenapa, Sayang? Apa aku membuat kesalahan?”

Giadore diam.

“Kau sedang tidak enak badan, heum?”

Giadore mendesah pelan, pena yang dipegangnya tampak berair efek keringat dari tangannya yang mengepal. Kepalanya berdenyut. “Apa kau sudah menyelesaikan bagian akhirnya?”

Datar.

Marcus menegakan tubuhnya, mencoba menatap wajah pucat gadisnya. Dia mulai merasa kesal. Pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan.

“Aku rasa kau memang sakit. Ayo kuantar ke dokter.”

“Cepat kerjakan bagianmu, Marcus.”

Marcus mengerang kesal. Giadorenya hari ini berbeda. Dia memilih gadis itu untuk marah-marah dan meneriakinya dengan kata bodoh dari pada mendiaminya. Karena itu lebih mengerikan.

“Kau mengacuhkan aku, Giadore Shin.”

Giadore tahu pria itu mulai emosi. Dengan cepat dia memasukan semua peralatan tulis dan bukunya ke dalam tas lalu berdiri. Menatap sekilas pada Marcus yang berjengit melihat tingkah gadis itu.

“Kita lanjutkan besok. Aku pergi.”

“Berhenti disitu!” Emosinya memuncak. Dia tak terima di acuhkan gadis itu. Dia tahu gadis itu tidak baik-baik saja tapi bukankah harusnya gadis itu menceritakan masalahnya pada dirinya?

Marcus meraih lengan Giadore cepat dan membalikan tubuh gadis itu. Wajahnya menunduk, menatap sayu setiap sudut wajah pucat Giadore, “Kau sakit, Sayang?”

Giadore menahan sekuat mungkin dirinya untuk tidak menangis. Dia membiarkan pria itu sejenak untuk puas menatapnya dan diapun menatap wajah pria yang dirindukannya. Masih sama. Tetap menawan dan…bodoh.

Sebelum terlena, dia berusaha melepaskan tubuhnya dari jangkauan Marcus. “Lepaskan aku, Marcus.” Namun sayang tas selempanganya melilit ditangan Marcus.

“Kau pikir aku akan melakukan ucapanmu? Tidak, sebelum kau menjelaskan masalah ini?”

“Aku bilang lepas!” bentak Giadore. Tubuhnya nyaris limbung saat kepalanya kembali berdenyut, beruntung Marcus menangkap tubuhnya cepat. Namun dengan sekali hentakan Giadore mendorong Marcus dan berhasil.

Sebelum Giadore kembali pergi, Marcus lagi-lagi menahan lengan Giadore, menarik tubuh gadis itu emosi dan yang dilakukannya adalah mencium gadis itu. Marcus terkejut saat bibirnya menyentuh bibir gadis itu. Panas. Benar, gadisnya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Namun dia tak peduli, dia tetap mencium Giadore meski gadis itu memberontak dalam pelukannya.

Dan..

Plak!

Tamparan itu membuat ciuman mereka terlepas. Marcus terdiam dalam reaksi tubuhnya yang shock dengan tindakan gadis itu. Menunduk dengan pipi yang masih panas. Dia mengangkat wajahnya, menatap tak percaya pada Giadore. Pipinya yang sakit, tak seberapa dengan ucapan gadisnya.

“Aku bukan wanita murahanmu, keparat.”

(Backsound : Super Junior – Bittersweet)

Marcus masih membeku ditempat membiarkan gadis itu hilang dibalik pintu, hatinya kembali ditampar saat dia melihat airmata itu meluncur bebas dari mata indah gadisnya. Lebih sakit.

“Arrggahhhhhhh!!!”

Sudut-sudut jarinya meneteskan cairan berwarna merah saat menghantam keras tembok disamping. Dan dia tak peduli itu.

Tanpa dia ketahui, dibalik pintu itu, Giadore menangis tertahan sambil memukul dadanya. Kristal dari matanya menetes semakin deras. “Sakiiiittt…..”

Dengan tubuh lemahnya dia mencoba berlari sejauh mungkin dengan kaki yang akan membawanya entah kemana, menjauh dari pria itu.

***

Marcus tidak mempedulikan sakit ditangannya, dengan cepat diraihnya tas dari meja lalu berlari mengejar Giadore yang menurutnya mungkin belum jauh. Gadis itu selalu membuatnya sulit bernafas, selalu mebuatnya khawatir tapi itu juga yang membuat jantungnya serasa hidup dan berdetak untuknya.

Tidak, dia tidak akan pernah melepaskan gadis itu. Tolong digaris bawahi.

Namun saat tangannya baru menyentuh kenop pintu, ponselnya berdering dan tanpa membaca caller ID dia menekan tombol hijau yang langsung membuatnya menyesal.

“Kau dimana, Marcus?”

“Aku sedang sibuk.”

“Marcus, aku ingin jalan-jalan,” rengek suara dari sambungan telpon itu.

Marcus mengerang kesal. “Maaf Clawra, saat ini aku tidak bisa.”

“Kalau kau tidak mau, akau akan menghubungi ahjumma sekarang juga.”

Tut!

Telpon diputus begitu saja sementara Marcus serasa ingin melempar alat-alat di ruangan itu namun wajah killer Profesor Choi menghadang tindakannya.

Gadis Park itu selalu saja tahu kelemahannya.

“Shit!”

***

Marcus menyetir dengan pikiran yang melayang dengan kejadian tadi.

“Aku bukan wanita murahanmu, keparat.”

Ucapan Giadore masih terngiang diotaknya. Dia mulai menelaah kalimat Giadore. Wanita? Dia merasa tak pernah dekat dengan wanita manapun selain Giadore.

Tapi tunggu?

Dekat?

Marcus mengingat tindakan Clawra dan pikirannya melayang di malam hujan semalam. Apa jangan-jangan gadis yang dibangku ituuu…….

Marcus tersadar…mungkinkah Giadore melihatnya dengan Clawra??

Marcus tersenyum, dia menemukan jawabannya. Dia memasukan persneling mobilnya dan melaju cepat menuju rumah seseorang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

***

“HOOOAAAAAAAAA…..!!!!”

Giadore berteriak sambil menangis sekencang yang ia bisa ke arah danau tenang dihadapannya. Air danau itu tampak bergetar saat Giadore melemparkan kerikil-kerikil kecil dengan kuat.

“Kau brengsek, Marcuuuusss!! Aku membencimuuuu!!”

Ternyata kakinya malah membawanya ke danau itu. Danau yang Giadore pun tak tahu namanya. Namun suasana sekita danau itu sangat segar dan menenangkan. Udara sore yang sejuk mulai terasa dan Giadore baru menyadarinya saat matahari mulai tampak condong ke barat.

“Hoaaaaa….!!” Gadis itu kembali berteriak membuat burung camar yang tadinya tidur disarangnya terbangun dan terbang memenuhi cakrawala sore hari.

“Nona, kenapa kau berteriak disini?”

Giadore tak menyadari ada orang yang duduk disampingnya. Dia malas untuk menoleh dan hanya berteriak sebal, “Kenapa? Masalah buatmu, hah?!!”

Orang disampingnya itu hanya meringis mendengar teriakan gadis itu, menahan sakit ditelinganya, tentu saja.

“Semangat yang patah mengeringkan tulang, Nona.” Nasihatnya bijak.

Giadore tetap tidak menoleh dan malah menangis keras, “Siapapun kau, jangan sok tahu urusanku. Saat ini bukan tulangku yang kering, tapi hatiku. Hoaaaaa….”

Sosok itu hanya mendesah lemas namun tak lama kemudian dia tersenyum manis. “Bagaimana kalau aku menghiburmu, Nona?”

Tangis Giadore berhenti sejenak lalu menoleh cepat kesamping dan terkejut mendapati orang yang mengajaknya berbicara berpakaian aneh dan itu malah membuatnya menangis lagi, “Hoaaaaa…..”

Pria itu cengo ditempat. Bingung.

“Aku kan hanya ingin menghiburmu, Nona. Kenapa kau malah menangis?”

“Kenapa ada Superman disini? Hoaaa… Apa aku sudah gila karena si bodoh itu??”

Giadore menangis kencang membuat pria itu mengaruk kepalanya bingung.

“Kau tidak gila, Nona.”

Giadore menghentikan tangisannya saat mendengar kalimat pria itu. Dia menghapus air matanya kasar lalu menoleh pada pria itu, sama bingungnya. Dia mendesah kemudian membuang pandangannya ke arah danau, “Aku yang gila atau dia yang gila ya?”

“Ya, Nona! Aku tidak gila. Aisshhh…”

Giadore menoleh lagi pada pria itu, menatapnya singkat lalu mengangguk tanpa dosa. “Hmm..sepertinya kau tidak gila.”

Pria berpakaian superman disampingnya hanya menepuk keningnya lemas. Stres!

“Lalu, kenapa kau menggunakan kostum superman begini? Dengan kolor merah pula?”

“Hahaha…” Pria itu tertawa renyah mendengar pertanyaan polos gadis disampingnya. “Lalu menurutmu, aku harus memakai kolor warna apa?”

Giadore cengengesan. Baru sadar. “Iya..ya.. Hahahah…”

Mereka tertawa bersama sambil menyaksikan matahari yang hilan ditelan barat menyisakan percikan kejinggan yang dipantulkan air danau. Setidaknya hari ini, ada superman berkolor merah yang menghiburnya, mengaburkan luka dihatinya. Superman dadakannya.

Trims supermanku.

***

“Apa??”

Clawra kaget dengan kalimat Marcus. “Tidak mau. Itukan masalahmu dan pacarmu.”

“Tapi ini karenamu juga, Nona Park?”

“Kenapa aku?”

“Dia cemburu padamu. Kau tahu, semalam dia melihat kita di restoran itu.”

“Aishh…pacarmu itu kekanakan sekali. Masa begitu saja, dia marah.”

“Dia hanya salah paham,”ralat Marcus cepat. “dan cemburu.” Senyum dibibir Marcus tercipta. Clawra yang duduk disamping kemudi hanya mendesah.

“Kau sama saja dengan kakak laki-lakimu itu.”

“Itu artinya dia perhatian padamu, kakak ipar,” goda Marcus.

“Baiklah,”putusnya, “aku akan menolongmu, tapi setelah kau menemaniku untuk menghibur diri.”

Marcus hanya mendesah mendengar ucapan kekasih kakak lelakinya ini.

“Aku bingung, kenapa Vincent bisa menyukai gadis menyebalkan sepertimu..awww..kenapa kau menjitakku?!”

“Kau protes, maka bantuanku batal,” ancamnya sambil menyandarkan tubuhnya.

Vincent…kau harus pasung kekasihmu ini!

***

Giadore masih termenung di ruangan biology labor sedang mahasiswa yang lain sudah keluar untuk pulang. Selama pelajaran prakter tadi kerjanya hanya melamun dan merutuki kebodohannya. Dia juga merasa pada pria itu.

Tamparan itu pasti sakit, batinnya.

Dan hari inipun Giadore resah karena Marcus tidak masuk kelas.

“Aku memang bodoh.”

Pikirannya melayang pada obrolannya dengan gadis cantik bernama Clawra Park, gadis yang bersama Marcus malam itu. Gadis itu datang ke apartmentnya dan tentu saja membuatnya kaget setengah mati. Beruntung Minami sedang ada kencan dengan Nathan sehingga dia tidak perlu menjelaskan siapa gadis dihadapannya ini.

“Aku ingin mengklarifikasi sesuatu padamu, Nona.”

Giadore hanya menelan ludahnya gugup. Gaya gadis itu cukup angkuh tapi tetap menunjukan sisi anggun. Tatapannya juga lembut, tidak mencerminkan nada dalam kelimatnya. Giadore bingung mesti bersikap bagaimana.

“Apa yang ingin anda klarifikasikan?”

Gadis itu memandangnya, “Panggil aku Clawra. Clawra Park.” Gadis itu memulai. “Kau gadis yang bernama Giadore Shin?”

Giadore mengangguk dengan kening berkerut.

Gadis itu tersenyum, “Marcus sialan itu memintaku untuk menjelaskan padamu tentang kesalahpahaman ini. Aku tahu, kau pasti cemburu melihat aku bersama Marcus malam itu,” Clawra menatap lembut Giadore, “tapi kau tidak usah cemburu karena aku adalah kekasih kakaknya-kakak angkatnya, Vincent- disini aku hanya berlibur dan meminta Marcus menemaniku. Aku minta maaf dan kuharap kau memaafkan Marcus juga. Pria itu sangat mengerikan saat marah.”

Giadore mengerutkan keningnya.

“Kau tahu, tangannya terluka. Pria gila itu memukul tembok karena frustasi kau marah padanya.”

Giadore tersentak, “Apa??”

Clawra mengangguk dan tersenyum, “Dia benar-benar jatuh hati padamu, Nona. Percayalah. Dan kuharap kau bisa menerima adikku yang bodoh itu.” Clawra berdiri lalu meraih tas tangannya diatas meja. “Terimakasih untuk waktunya, Nona Shin. Aku pergi dulu. Selamat malam.”

Giadore tidak merespon. Pikirannya masih mengingat ucapan wanita itu yang mengatakan Marcus terluka karenanya.

Pria itu benar-benar bodoh!

Giadore menghela nafas, rasa lega, kesal, marah dan bersalah menyatu dihatinya.

Dan saat ini pun itu yang ada dalam pikirannya.

Bagaimana pun juga dia sudah bersalah, menampar Marcus begitu saja.

“Maafkan aku, Marcus.”

Dia berdiri lalu menyusun bukunya kedalam tas. Baru saja dia berjalan keluar, pintu itu terbuka. Dan seperti adegan slow motion, pria yang tengah dicarinya sudah berdiri dihadapannya dengan senyuman manis. Senyum yang masih sama dan selalu dirindukannya. Mata itu menatap teduh kearahnya yang justru membuat mata Giadore memanas. Mata Giadore tertumbuk pada tangan kanan Marcus yang dibalut perban dan rasa bersalah itu muncul kepermukaan. Bibir mungil itu bergetar menahan tangis dan Marcus tahu itu. Dia melangkah mendekat pada gadisnya. Dan benar, Giadore menangis kencang saat Marcus menariknya ke dalam pelukan dadanya yang lebar. Tak peduli kemeja barunya akan basah.

Dia mengusap lembur rambut panjang gadisnya. Jika tidak dalam situasi seperti ini mungkin dia akan menertawakan gadis cengeng itu dan menggodanya karena cemburu namun sepertinya, gadisnya ini sedang sensitif.

“Maafkan aku,” ucap Giadore pelan sambil mengeratkan pelukannya pada Marcus saat Marcus hendak melepasnya. Dia cukup malu untuk dilihat Marcus dengan kondisinya saat ini.

Marcus tersenyum manis. “Aku juga minta maaf, Sayang.” Marcus mencium puncak kepala Giadore dengan lembut.

Giadore memberanikan diri untuk mendongkak tanpa melepaskanpelukannya, menatap wajah Marcus bodohnya yang sangat dirindukannya.

Marcus menunduk untuk membalas tatapan teduh gadisnya. Giadore hanya memejamkan matanya ketika bibir hangat Marcus mengecup keningnya lama.

“Aku merindukanmu, dear,” ucap Marcus setelah melepas ciumannya, sedikit menjauhkan tubuhnya dari gadis itu, tangannya menghapus jejak-jejak airmata di pipi Giadore.

“Aku juga.”

Mata mereka bertemu. Saling menatap dalam. Marcus mencium singkat bibir Giadore lalu tersenyum. “Jangan salah paham lagi. Kumohon percayalah padaku.”

Giadore masih menatap Marcus lalu mengecup pipinya pelan. Pipi yang kemarin ditamparnya. Dan Marcus hanya diam, bahkan saat gadis itu meraih tangannya yang terluka.

Giadore menyentuh luka itu lembut lalu mengecupnya pelan, “Cepat sembuh ya…”

Marcus tertegun dengan sikap gadisnya yang manis. Seperti ada ombak diperutnya membuatnya tergelitik. Bibirnya tersenyum.

Giadore kembali menatap Marcus. “Dan kau, berhenti bersikap bodoh.”

Marcus menelan kembali senyum itu.

Huh…gadis ini selalu bisa mempermainkan emosinya.

“Aku tidak akan bertindak seperti ini kalau kau tidak cemburu.”

Giadore mendelik kesal pada Marcus dan mendorong jauh tubuh pria itu, “Aku tidak cemburu, bodoh.”

Marcus tersenyum bahagia, akhirnya kata itu terucap lagi dari bibir gadisnya. “Kalau tidak cemburu, lalu apa namanya, Shawty?” Marcus menahan senyum melihat wajah Giadore yang memerah.

Ahhh…gadisku memang menggemaskan.

“Aisshhh, dasar bodoh!” ucapnya kesal, tentu saja dengan wajah yang merah padam.

“Aku juga mencintaimu, Sayang.”

“Kau menyebalkan!”

“Aku juga menyayangimu, Dear.”

Giadore menatap kesal pria didepannya yang hanya mengulum senyum bahagia, “Marcuuussss…”

CUP

CUP

CUP

Shawty, kau tak perlu memonyongkan bibirmu agar aku menciummu,” ucap Marcus setelah mengecup bibir manis Giadore.

Pipi Giadore memanas melihat Marcus yang terkekeh bahagia, “Kau mau mati, hah?”

Marcus hanya tersenyum lebar, “Aku bahkan rela mati ditanganmu, Sayang.”

Marcus berlari kecil keluar dari ruangan itu dengan tawa bahagia dibibirnya. Gadisnya selalu bisa membuatnya merasa benar-benar hidup.

“Marcus bodoh, awas kau…!!”

Giadore mengejar Marcus yang berlari kecil didepannya. Dia ikut tertawa melihat tingkah kekasihnya itu. Merasa jatuh cinta lagi.

Ternyata obat patah hati adalah jatuh cinta____(author’s thinking)

Selamat menikmati cintamu…^^

END – Bener bener END*kayaknya*

Image

Adorable Love {Sequel}

531587_466899343320728_1507858539_nAuthor : Giadore Shin

@AyuWon92

Cast :

*Giadore Shin

*Marcus Cho

Guest Cast :

*Minami Jung

*Nathan Kim

Genre : Romance

Rate : T

Length : Oneshoot

Disclaimer :

This story is MINE!! I borrow kyuhyun’s english name. This is sequel of Adorable Love.

Please visit my WP in :

https://ayugiadore.wordpress.com

Warning : Please don’t bash and copas this story without permission. And please give your words after you read my story. Be carefull! Typo everywhere..

Gamsahamnida

Happy Reading^^

***

(Backsound : Kim Bo Kyung – Brand New Day)

Baru saja tangan kanan Giadore menutup pintu ruang Biology Labor ketika suara bass pria membuatnya tersentak kaget.

“Morning, dear.”

Giadore memejamkan matanya sejenak; mencoba untuk menahan rasa kesalnya. Matanya menangkap senyum ringan milik pria yang belakangan ini mampir diotaknya.

“Kau mengagetkanku, bodoh,” desis Giadore, menatap kesal kearah Marcus; pria yang malah terkekeh mendengar nada kesal gadis itu.

Marcus menegakkan tubuhnya-setelah sebelumnya bersandar pada dinding samping pintu-lalu menghampiri Giadore, masih dengan senyum ringan dibibirnya.

Giadore memasang wajah waspada melihat senyum-yang menurutnya aneh-mengingat Marcus yang dia kenal jarang menampilkan ekspresi seperti itu dihadapannya.

“Kau tak ingin membalas sapaanku, dear?” Marcus masih mempertahankan senyum itu; membuat Giadore bergidik.

Dear?? Oh ayolah, itu menggelikan!

“Sepertinya otakmu terbentur sesuatu, Tuan Cho.” Giadore menggeleng, lalu berbalik dan melangkah. Lengan kekar Marcus melingkar bebas dibahunya, membuat Giadore menghentikan langkahnya dan menatap kesal pada pria itu.

“Ralat. Bukan otakku tapi hatiku yang terbentur hatimu, Sayang.”

Senyum itu.. Astaga! Bisakah kalian definisikan wajah senyum yang menampilkan unsur mesum, menyebalkan dan sok polos? Hahah..menjijikan!

Well, jantung Giadore cukup menghentak cepat mendengar kalimat itu; kalimat menjijikan yang mustahil dikumandangkan oleh seorang Marcus Cho, tapi bukan Giadore Shin namanya jika gadis itu tidak bisa memainkan ekspresinya.

Dengan sekali hentakkan Giadore menjauhkan lengan Marcus dari bahunya; menatapnya kesal.

Tatapan kesal itu berubah menjadi kaget, tubuhnya menegang saat mata hazel-nya menatap sekeliling mereka; mendapati beberapa pasang mata sedang menatap aneh kearah mereka. Bukan hal baru jika melihat Giadore dan Marcus saling cela, tapi saat ini, kedekatan mereka bisa dikategorikan sebagai hal baru yang mencengangkan.

Marcus menyadari hal itu namun bukan Marcus namanya jika tidak bersikap sok tidak peduli.

Giadore mendongkakan wajahnya untuk menatap Marcus, “Berhenti mengikutiku. Kau tidak lihat mereka memperhatikan kita, hah?” Giadore mendesis geram. Tangan kirinya mencengkram erat buku Sains tebalnya.

“Lalu? Apa masalahnya dengan mereka? Aku berjalan dengan kekasihku, apa itu salah? ” tanya Marcus santai. “Aku rasa tidak,” jawabnya lagi sambil mengedarkan pandangannya; membalas setiap tatapan mahasiswa yang berlalu lalang, tidak menyadari perubahan wajah Giadore yang sudah merah padam. Gadis itu shock dengan pernyataan pria dihadapannya.

“Kau sudah gila, Marcus.” Giadore memandang Marcus tak percaya. “Aku tidak pernah jadi kekasihmu.”

Dengan cepat Giadore meninggalkan Marcus. Lama-lama aku bisa gila, batin Giadore.

“Kau yakin?”

Baru tiga langkah, suara itu kembali menghentikan langkah Giadore. Gadis itu menghembuskan nafasnya sebal.

Pertanyaan bodoh!

Gadis itu memejamkan matanya sejenak; sebelum menolehkan kepalanya kebelakang untuk melihat Marcus. Bibirnya melengkungkan senyum percaya diri, “Absolutely, Mr. Cho!” ucapnya penuh penekanan, lalu kembali melangkah.

“Tentang ciuman itu. Bukankah kau membalasnya, Sayang?”

Bingo!

Marcus tertawa penuh kemenangan. Dia bisa melihat tubuh gadis itu menegang mendengar suaranya yang cukup keras membuat mereka jadi bahan tontonan. Baiklah, dia benci diacuhkan; apalagi oleh gadis itu. So, jangan salahkan dirinya, jika selalu mencari alasan untuk mendapat perhatian dari gadis itu.

Giadore memandang kaku kesekelilingnya. Pipinya memanas mendengar kalimat Marcus-yang dia tahu pria itu sengaja menaikkan oktaf suaranya-barusan. Jantungnya bertalu cepat.

Giadore berbalik cepat dan menatap tajam Marcus yang sedang tertawa bahagia.

‘Marcus Cho, mati kau!’

Tanpa memperdulikan apapun dia melangkah gusar kearah pria itu.

Marcus terkejut saat Giadore menarik tangannya dan memaksanya untuk masuk kedalam ruangan Biology Labor.

Huh, sepertinya ruangan itu akan menjadi ruangan keramat bagi mereka.

***

Tatapan Giadore seperti ingin memangsa sesuatu. Seandainya tatapan bisa membunuh, dia berharap bisa membunuh pria yang bersikap santai dihadapannya saat ini.

“Apa maksud ucapanmu, bodoh?” ucapnya gusar, lebih kepada pernyataan. “Kau tidak lihat bagaimana ekspresi mereka?” lanjutnya, lalu menghembuskan nafas kesal. Masih lekat diotaknya ekspresi kaget teman-teman mereka.

Marcus malah berucap sok polos, “Aku kan hanya mengatakan yang sebenarnya.”

“Sebenarnya apa?!” tanya Giadore tak sabar.

“Membalas ciumanku.” Marcus menatap Giadore sambil tersenyum jahil, “Bukankah kau memang membalasnya?”

Giadore menganga. Jantungnya seperti lepas kontrol. Cairan ditenggorokkannya serasa berubah menjadi batu membuatnya sulit untuk bicara. Dia sudah tidak bisa membayangkan bagaimana warna wajahnya saat ini.

Kau brengsek, Marcus! Rutuknya dalam hati.

Marcus menyeriangi melihat gadis itu bungkam dengan pernyataannya. Marcus mencondongkan wajahnya untuk menatap gadis itu lebih dekat, “Kau tampak manis dengan wajah merah seperti ini, Sayang?”

BRAK!!

Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat Giadore menutup mulutnya yang ingin memaki Marcus. Mereka menoleh bersamaan kearah pintu dan muncul sosok dengan mata yang menatap mereka dengan tajam.

Giadore dan Marcus menegang, mata mereka membulat sempurna. Dengan refleks Marcus menjauhkan diri dari Giadore.

Mulut mereka menggumamkan kata yang sama, “Profesor Choi.”

***

Giadore mencengkaram erat buku Sains tebal yang kini teronggok dipangkuannya. Tengkuknya serasa ingin patah akibat terlalu lama menunduk. Ayolah, siapa yang mau membalas tatapan mengintimidasi milik sosok pria yang sedang duduk dihadapan mereka. Oke, mereka. Dirinya dan Marcus. Pria yang menyebabkannya harus berurusan dengan Profesor killer sejagat kampus.

Berbeda dengan Marcus; pria itu terlihat mulai menguasai kegugupannya meski mata sosok didepannya menatapnya tajam.

Profesor Choi mengetukkan bolpoin hitamnya diatas meja yang memisahkan dirinya dari dua mahasiswanya. Matanya menatap bergantian Marcus dan Giadore. Pandangannya berhenti pada Giadore yang masih menunduk, “Bisa kau jelaskan apa yang kalian lakukan di ruangan itu, Mr. Cho?” ucapnya masih tetap menatap Giadore.

Marcus berdehem pelan; mengerjap bingung. Well, sepertinya dia sudah melupakan satu hal. Ruangan Biology Labor adalah ruangan yang sangat diistimewakan oleh Profesor Choi. Tidak boleh ada yang mengusik ruangan itu jika tidak memiliki kepentingan apapun dan mereka telah melanggar itu, bahkan dua kali.

Dengan keberanian yang dimilikinya, Giadore mengangkat wajahnya, “Kami…” Mulutnya kembali terkatup saat mendapati mata itu sedang menatapnya.

“Aku tidak sedang bertanya padamu, Ms. Shin?” Nada dingin itu kembali membuat Giadore menunduk kaku; menelan ludahnya dengan penuh perjuangan.

Marcus meremas tangannya gugup. Setelah mencoba memikirkan jawaban yang masuk akal, Marcus menatap pria itu dan mengeluarkan suaranya, “Kami….”

***

“Ini semua karenamu, bodoh. Dan alasan macam apa itu tadi, hah?” tanya Giadore lemas. Dia sudah tidak punya tenaga untuk memarahi Marcus.

Mereka sudah keluar dari ruang Profesor Choi setelah Marcus memberikan jawaban yang membuat Giadore ingin membenamkan pria itu ke laut pasifik. Dan hasil dari jawaban itu adalah mereka mendapat tugas untuk mengerjakan laporan Sains diawal batas pengumpulan; itu berarti minggu depan.

Luchifer biadap!!

“Itu jawaban terbaik yang kumiliki, Sayang,” ucap Marcus yang kembali seperti biasa; santai tanpa beban.

“Oh ayolah Marcus, aku sedang tidak bercanda.”

“Aku tahu, Sayang.”

Giadore menatap kesal tingkah pria itu.

“Berhenti memanggilku seperti itu!”

“Aku suka memanggilmu seperti itu…Sayang,” ucap Marcus dengan senyum jahil dibibirnya.

Giadore mendelik kesal menutupi jantungnya yang sejujurnya berdetak kencang, “Tutup mulutmu atau aku akan membunuhmy sekarang juga.” Tersirat nada kegugupan disuara gadis itu. Tanpa membuang waktu, Giadore berjalan meninggalkan Marcus.

Marcus terkekeh pelan melihat semburat merah muda dipipi gadis itu. Dengan santai dia mengikuti langkah gadis itu dengan tangan yang terselip dikantung celananya.

“Bukannya kau sudah tahu cara ‘menutup mulutku’, Sayang… Awww kenapa kau memukulku?!!” Kekehan Marcus berubah menjadi ringisan protes ketika buku tebal Giadore mendarat mulus dikepalanya.

Entah kapan Giadore membalikkan tubuhnya menghadap Marcus.

“Itu cara untuk membuatmu tutup mulut, bodoh!” ucap Giadore sambil menyeriangi, merasa menang kali ini. Lalu kembali melangkah cepat meninggalkan Marcus yang masih mengelus kepalanya,

“Astaga, gadis itu kasar sekali.”

Gerutuan Marcus masih bisa didengar oleh Giadore yang tanpa sadar melengkungkan bibirnya membentuk senyuman manis yang tak terlihat oleh Marcus.

***

Giadore keluar dari kamar mandi dengan tangan yang sibuk mengeringkan rambut panjangnya. Mulutnya bersenandung kecil. Keningnya berkerut saat mendapati gadis yang menjadi sahabatnya dua tahun terakhir ini sedang memandangnya penuh tanya. Minami Jung, gadis berparas mungil yang ceria bahkan bisa dikategorikan cerewet. Baiklah lupakan sejenak kalimat terakhir barusan. Mereka tinggal diapartement yang sama sejak dua tahun lalu dan mulai bersahabat sejak saat itu. Dan beruntung, ternyata mereka juga masuk difakultas yang sama.

Giadore menghampiri Minami yang tengah duduk ditepi ranjang lalu mengambil posisi yang sama, “Kenapa menatapku seperti itu?”

Minami melipat rapi tangannya didepan dada; memicingkan matanya menatap Giadore dengan selidik, “Kemana saja kau seharian ini?” Wajah Minami mendekat membuat Giadore memundurkan wajahnya dan menghentikan aktifitas tangannya. “Aku tidak melihatmu dikampus.”

Giadore menghembuskan nafasnya lalu mendorong wajah Minami menjauh dari wajahnya,”Aku ada urusan,” ucap Giadore beranjak dari duduknya lalu menggantungkan handuknya dihanger lemarinya.

Minami hanya menghela nafas mendengar jawaban dari sahabatnya itu. Dengan malas dia turun dari ranjang dan berjalan menuju meja belajar mereka lalu menghidupkan laptopnya. Kemudian membawanya keranjang yang sudah diduduki Giadore.

“Urusan apa sampai membuatmu tidak masuk dikelasnya Profesor Kim?” goda Minami, dia cukup tahu tentang sahabatnya itu yang cukup mengagumi sosok pria bermarga Kim itu.

Giadore hanya menghela nafas.

“Come on, mate! Bukankah selama ini kita selalu berbagi masalah? Kau bisa cerita padaku. Kau tahu pasti, aku selalu siap mendengarkan ocehanmu itu, Adore,” oceh Minami panjang lebar membuat Giadore memutar bola matanya malas. Baiklah sepertinya kalimat terakhir tentang gadis itu harus selalu diingat. Gadis mungil itu memang cerewet.

“Ok..berhentilah mengoceh, Nami. Ya, aku ada urusan dengan si killer itu. Kau tau siapa yang ku maksud.”

“Maksudmu Profesor Andrew Choi?” tanya Minami terkejut. Bagaimana mungkin gadis sekelas Giadore bisa berurusan dengan si dosen killer. “Kau ada masalah apa dengannya?”

Pertanyaan Minami membuat pikiran Giadore melayang pada kejadian itu. Giadore mengusap wajahnya dengan kedua tangannya kasar lalu menghempaskan tubuhnya keranjang dengan kasar, “Ini semua karena Marcus Cho brengsek itu.”

Mendengar nama Marcus membuat tangan Minami yang sedang asyik bermain diatas mouse berhenti, “Marcus? Astaga! Apa kau tidak jenuh selalu bermasalah dengan pria itu?” Minami kembali melanjutkan kegiatannya tanpa memperdulikan tatapan kesal Giadore, “Bukan aku yang bermasalah tapi dia.”

“Ya..ya..terserah kalian saja. Aku hanya mengkhawatirkan satu hal.”

Giadore mengerutkan keningnya. Cukup pusing dengan kalimat Minami yang menurutnya berbelit-belit. Terdengar helaan nafas dari Minami. Gadis itu mematikan laptopnya lalu meletakkannya dimeja samping ranjang.

“Maksudmu?” Giadore tak bisa menahan pertanyaan itu dikepalanya dan jawaban Minami membuat kepalanya semakin pusing.

“Aku khawatir kalian akan saling jatuh cinta dan menjadi sepasang kekasih. Ya, terdengar klasik tapi itulah cinta; punya ciri khas masing-masing.”

***

Sepulang kuliah, Giadore langsung menuju halte bus. Dengan malas dia menaiki salah satu bus yang akan membawanya kerumah pria itu. Siapa lagi kalau bukan Marcus Cho. Dengan se-enak jidatnya pria itu menyuruh Giadore datang ke apartementnya untuk menyelesaikan tugas mereka dengan alasan pria itu sedang tidak enak badan. Baiklah, memang pria itu tidak masuk kuliah dan itu cukup membuat Giadore sedikit percaya dengan alasannya.. Ingat! Hanya sedikit!

Tak terasa limabelas menit berlalu, bus berhenti didaerah Gangnam. Giadore pun turun lalu mulai berjalan mencari apartment Marcus.

Pria itu menyusahkanku saja, rutuknya dalam hati.

Setelah membaca kembali pesan Marcus yang berisi alamatnya, Giadore memasuki sebuah apartement mewah.

Dengan ragu Giadore memencet bell yang ada di pintu kamar nomor 407.

Pintu terbuka dan memunculkan sosok pria yang wajahnya tampak pucat dengan kaos putih tipis dan celana pendek warna biru. Rambut tebal coklatnya terlihat berantakan menandakan pria itu baru bangun tidur.

Giadore berdehem pelan. Tenggorokannya mendadak tersumbat akibat hentakan dadanya yang bekerja diluar kontrol hanya karena melihat pria itu.

Ayolah Giadore, kau masih waras kan?

Bibir Marcus tersenyum saat Giadore terlihat salah tingkah,”Masuklah.”

Giadore melangkahkan kakinya dengan ragu. Matanya mengitari setiap sudut ruangan apartment Marcus yang terlihat elegan. Tidak heran, Marcus Cho adalah junior tunggal dari Cho’s Diamond Company.

Setelah menutup pintu, Marcus mengikuti langkah gadis itu. Dari belakang, Marcus bisa melihat rambut merah lembayung milik gadis itu yang tergerai indah. Ekspresi polos gadis itu yang jarang dilihatnya. Tanpa sadar Marcus tersenyum namun senyuman itu berganti menjadi rasa gugup saat Giadore berbalik kearahnya. Irisnya terkunci dihazel milik gadis itu.

Jantung Marcus semakin bekerja diluar kontrol saat matanya menangkap ekspresi gadis itu menatapnya polos dan mengerjap pelan.

Demi janggut Voldemort, sejak kapan gadis ini punya ekspresi seimut itu!

Udara serasa makin menipis disekitar Marcus saat mataya melihat Giadore melangkah mendekat padanya, “Kau kenapa, bodoh?”

Sepertinya kata imut tidak cocok untuk gadis seperti dia, batin Marcus sambil menggeleng; tersadar dari lamunannya.

“Duduklah, aku ambil berkasku dulu,” ucap Marcus melewati Giadore yang bingung melihat sikap aneh Marcus yang menghindari tatapannya.

‘Ada apa lagi dengan si bodoh itu.’

***

Giadore menggelengkan kepalanya melihat Marcus yang dengan senyumnya menghampiri penjual tiket bianglala. Bianglala? Ya, Marcus bodoh itu menarik paksa dirinya ke tempat ini. Diapun jadi mendadak bodoh; menerima begitu saja ajakan Marcus. Jangan tanya bagaimana nasib tugas mereka. Sudah jelas terbengkalai. Terkadang dia berpikir Marcus memiliki dua kepribadian yang berbeda. Terkadang bersikap menyebalkan dan kadang kekanak-kanakan; seperti saat ini.

Bibir Giadore tanpa sadar melengkungkan senyuman.

Sepertinya kau mulai tak waras, Giadore!

Marcus menghampiri Giadore dengan dua tiket ditangannya. Senyum dibibir Marcus semakin sempurna saat Giadore membalas senyumnya. Ada rasa hangat dihati Marcus melihat senyum tulus itu.

Giadore mengalihkan wajahnya saat Marcus menatapnya dengan tatapan yang membuat jantungnya berdenyut cepat. Pipinya memanas. Kekehan ringan Marcus terdengar lembut ditelinganya; Giadore menoleh lalu ikut terkekeh.

Marcus menghentikan kekehannya, menatap gadis itu lembut lalu menarik tangan Giadore; menyelipkan jari-jari besarnya diantara dijari-jari mungil Giadore, “Baiklah, sepertinya kencan pertama kita berjalan dengan sukses.” Marcus menatap Giadore yang tersenyum kearahnya.

“Let’s go to date!”

***

Gadis mungil dengan cardigan pink membalut tubuhnya terlihat asyik menatap pemandangan malam disekitar Lotte World. Gadis itu duduk disalah satu bangku sambil memainkan kakinya yang menjuntai. Senyum melekat dibibir pink-nya mengingat kencannya yang menyenangkan. Saat ini dia tengah menunggu sang kekasih yang tengah membelikan kembang gula disalah satu stand yang tak jauh dari tempatnya duduk. Pandangan gadis itu terhenti saat melihat sosok yang familiar diotaknya.

“Giadore….Marcus..” desisnya, saat matanya menangkap siluet tubuh gadis yang menjadi sahabatnya. Dia memicingkan matanya; mencoba mempertajam penglihatannya sampai tak menyadari kehadiran kekasih yang sudah duduk disampingnya dengan dua tangkai kembang gula ditangannya.

“Ini untukmu, dear.”

Pria itu mengernyit melihat tak ada respon dari gadisnya, “Dear??” Percuma, gadis itu masih belum merespon.

“Ehh?” Gadis bernama Minami itu tersentak saat pandangannya terhalangi oleh tangkai kembang gula. Dia menoleh pada kekasihnya yang tampak cemberut,”Kau mengacuhkanku, dear.”

“Maaf Nathan,” sesalnya, “Apa ini untukku?” tanya Minami lalu mengambil setangkai kembang gula dari tangan kekasihnya. “Thank you, dear.” Minami tersenyum dan mengecup pipi Nathan; membuat bibirnya yang tadi cemberut berubah menjadi senyuman manis.

CUP

Minami mengerjap kaget dengan ciuman tiba-tiba Nathan dibibirnya.

“Itu, karena kau sudah mengacuhkanku.”

“Dasar kau ini!”

“Haha..” Nathan tertawa renyah yang diikuti oleh Minami.

Ya, mungkin aku salah orang, batin Minami disela-sela tawanya. Tak mau ambil pusing dengan halusinasinya.

***

Tak terasa matahari sudah berganti bulan, orbit malam mulai tampak memenuhi cakrawala malam namun perubahan waktu tak berubah ekspresi disepasang sejoli yang tengah menghabiskan waktu mereka sambil berpegangan tangan.

Mereka sudah menjelajah seluruh mainan di Lotte World tapi rasa lelah terlihat belum menhampiri mereka. Langkah Giadore terhenti saat mereka melewati mesin penjepit boneka. Dia melepaskan genggaman Marcus lalu menuju mesin itu. Giadore mengelurakan koin yang tersisa dari kantung denimnya lalu memasukkannya pada mesin lalu mulai mencoba mengambil boneka yang menjadi tujuannya ; pororo. Marcus menghampiri gadis itu dan terkekeh saat mendengar gerutuan kesal dari mulut Giadore.

“Ck, kau ini bodoh sekali. Sini, biar aku coba.” Mendengar celaan Marcus , Giadore hanya mencibir dan tetap mengizinkan Marcus untuk mencoba.

Gagal!

Gagal!

Giadore berdecak kesal, “Aku tidak lebih bodoh darimu, Tuan Ch…”

Berhasil!

Ucapan Giadore terhenti ketika Marcus berhasil mendapat boneka pororo itu. Dengan senyum kemenangan Marcus menatap Giadore yang mengalihkan pandangannya; malu-,-

***

“Hei, kenapa jalanmu cepat sekali?”

Giadore tidak mengindahkan teriakan Marcus; malah mempercepat langkahnya saat suara Marcus berderai. Giadore masih kesal dengan kejadian barusan, baiklah sebenarnya bukan kesal tapi….malu. Haisshhh, wajahku!! Rutuknya dalam hati.

Saat ini mereka dalam perjalanan pulang; menuju halte bus. Mengingat Marcus sengaja tidak membawa Lamborgini-nya; ingin lebih lama bersama gadis itu.

“Adoreee!”

kejadiannya begitu cepat, Giadore hanya bisa mematung dipelukkan seseorang. Hampir saja sebuah truck menabraknya jika tubuhnya tidak ditarik pria yang tengah memeluknya sangat erat. Giadore bisa merasakan nafas pria itu memburu ditelinganya. “Kau membuatku takut, bodoh.”

Giadore mengerjap, kesadarannya berangsur kembali. Marcus melepas pelukannya; menatap lega pada gadis itu. Tangannya menangkup pipi dingin gadis itu, “Jangan pernah lakukan itu lagi. Kau mau membuatku cepat mati, hah?”

Giadore bisa menangkap kekhawatiran dari sorot mata Marcus. Iris hijau jade yang entah kapan menjadi sesuatu yang menarik dipandangannnya,”Maaf…” ucapannya terpotong saat bibir tebal Marcus membungkam bibirnya. Rasa hangat mulai menjalar ditubuh gadis itu. Tangannya mencengkram erat bahu Marcus ketika Marcus menarik pinggang gadis itu; menghapus jarak diantara mereka.

Minami benar, aku mencintai pria ini, batinnya.

Marcus melumat bibir gadis itu lembut dan tegas. Memeluk gadisnya posesif seolah tidak akan melepasnya meski sedetik. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada dirinya jika kejadian tadi benar-benar nyata. Rasa takut itu benar-benar terasa nyata dan dia akan menyalahkan dirinya jika terjadi sesuatu yang buruk pada gadisnya.

Ciuman Marcus yang lihai membuat Giadore mulai membalasnya, mereka tidak memperdulikan kondisi dimana mereka berada sekarang; ditepi trotoar. Mereka hanya ingin menyalurkan sesuatu yang terpendam dalam diri mereka. Mecoba jujur dengan perasaan mereka masing-masing.

Marcus melepaskan ciumannya, menatap teduh gadis itu dengan nafas yang masih memburu. Tangannya menyentuh lembut bibir gadis itu dan berucap tulus,

“Berjanjilah, jaga dirimu untukku. Aku mencintaimu.”

Marcus kembali mencium gadis itu. Entah sejak kapan tangan Giadore berpindah ke leher Marcus. Membawa pria itu semakin mendekat. Bibirnya melengkungkan senyum mengingat ucapan Marcus.

“Aku juga mencintaimu, pria bodoh.”

Marcus tersenyum mendengar bisikan Giadore; seolah ada sesuatu yang meledak dihatinya. Mereka menikmati momen itu dan maaf untuk hal-hal yang sejenak sengaja dilupakan.

Baiklah sepertinya tugas dari Profesor Choi bisa menunggu.

***

Bulan terlihat bersinar cerah ditemani untaian bintang. Butiran salju mulai berjatuhan bersamaan dengan angin semilir. Bulir-bulir salju mulai menutupi jalanan dan dedauan hijau.

Sepasang anak manusia berjalan menyusuri trotoar dengan tangan yang saling bertaut. Senyum bahagia terukir dibibir mereka. Tangan bebas gadis itu mencoba menangkap butiran salju yang turun sedang tangan bebas pria itu memegang boneka pororo putih yang tampak tersenyum. Mereka kembali saling menatap dengan senyum yang masih melekat dibibir mereka sambil terus melangkah. Melangkah bersama melewati musim salju dan musim-musim berikutnya yang menunggu mereka dengan senyuman dan cinta yang manis.

‘Aku mencintaimu, Sayang’

‘Aku mencintaimu, bodoh’

END^^

A/N : Baiklah-baiklah.. Aku tahu cerita ini memuakkan. Typo dimana-mana dan feelnya gak dapet.

T.T

Maaf, tulisanku makin lama makin buruk. Entahhlah, akupun bingung gimana untuk lanjutin FF series ku. Maafkan saya author yang payah. Saya nulis sequel ini karena banyak yang request. Jeongmal mianhae jika amat sangat mengecewakan. Saya tidak memaksa readers untuk baca, tapi jika sudah dibaca; mohon untuk kritik dan masukannya. Tapi bukan BASH..

Terimakasih sudah membuka FF ini.

Regards,

Giadore Shin^^

Image

Adorable Love

Cast:

*Giadore Shin

*Marcus Cho

Length : Ficlet

Genre : Romance – Fluff

Rating : T – 15

 

Warning : Please don’t bash and don’t copas this story without my permission. Last but not least, i need your comment^^

Gamsahamnida^^

Story begin………

***

“Kau! Apa yang kau lakukan pada tanamanku?!

“Aku hanya melihat saja. Kenapa? Tidak boleh?”

Gadis itu menggeram kesal, “Kalau hanya melihat, kenapa kau memetiknya hah?!”

Pria dihadapan gadis itu hanya memutar bola matanya malas lantas mengambil bunga mawar merah yang terjatuh dilantai, “Ini! Lihat! Ini hanya bunga! Tidak ada istimewanya sama sekali!”, pria itu kembali menjatuhkan mawar itu kelantai lantas berkata sambil menatap gadis itu, “tidak berguna!”

Tangan gadis berambut panjang itu mengepal, amarahnya meluap. Mata hazelnya menatap tajam pria berambut coklat yang berdiri dihadapannya.

Namun wajah marah itu berubah membentuk sebuah senyuman. Senyuman sinis.

“Tak berguna? Haha….,” gadis itu tertawa sinis membuat pria tinggi itu mengernyit bingung, “tapi setidaknya mawar ini tidak seperti kau yang lebih tidak berguna!”

Pria itu tercekat. Suasana hening. Mereka saling menatap tajam.

Kalian tahu? Mereka adalah Giadore Shin dan Marcus Cho. Sepasang mahasiswa lebih tepatnya sepasang musuh bebuyutan yang tak pernah akur. Mereka bertemu ditahun pertama Sekolah Menengah Atas dan sampai saat ini, saat mereka duduk dibangku mahasiswa tingkat tiga bahkan disatu fakultas, Fakultas Sains.

Takdirkah?

Terdengar menggelikan.

Bocah sekalipun akan tertawa jika mendengarnya.

Dan sekarang pertanyaannya, ada apa dengan mereka?

Apalagi kalau bukan kejahilan seorang Marcus Cho yang dengan se-enak jidatnya memetik mawar yang ditanam Giadore untuk bahan penelitiannya.

“Apa maksudmu, Nona Shin?”

Giadore tertawa sinis mendengar pertanyaan Marcus lalu menghela nafas malas, ” Astaga! Ternyata Marcus Cho yang pandai bisa mendadak bodoh. Ck…,” gadis itu menggelengkan kepalanya dengan malas lalu mengambil mawar yang tergeletak dilantai kemudian berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Marcus.

Baru saja tangan kanan Giadore menyentuh gagang pintu, sepasang tangan yang kekar membalikkan tubuhnya dengan cepat lalu menghempaskan tubuh mungilnya ke daun pintu dengan kasar membuat Giadore merintih.

Gadis itu terkejut saat wajah Marcus tepat berada dihadapan wajahnya. Iris coklat Marcus yang menunjukkan amarah terlihat jelas.

Tangan Marcus mengunci tubuhnya.

Wajah Marcus yang sangat dekat menyadarkan Giadore bahwa pesona junior keturunan Cho itu memang menakjubkan. Feromon yang menguar dari tubuh pria itu membuat kerja otak Giadore serasa melemah. Giadore mengingat sesuatu, dimana teman-teman wanitanya sering membahas tentang Marcus Cho yang mempesona, mengingat tingkah wanita-wanita dikampusnya yang sering mencari perhatian pria itu.

Entah sejak kapan, bibir Marcus sudah menempel dibibir Giadore dan mulai melumatnya lembut. Semua orang tahu, selain pandai dan tampan, Marcus adalah iblis. Iblis yang amat mempesona. Namun kali ini iblis yang keluar dari diri Marcus berbeda. Dia tidak bisa mengontrol dirinya.

Saat aroma tubuh gadis itu menguar kedalam indra penciumannya.

Saat mata hazel itu menatapnya.

Saat bibir merah gadis itu menggodanya.

Tanpa dikomando, Marcus menarik tubuh gadis itu kedalam pelukannya tanpa melepas ciumannya saat dia merasa tubuh gadis itu hampir jatuh merosot.

Sentuhan Marcus yang lihai membuat Giadore terbuai. Sentuhan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Mata mereka terpejam mencoba menyalurkan rasa nyaman dan hangat.

Sejujurnya dia menyukai pria ini sudah lama, namun tingkah Marcus yang sangat menyebalkan membuatnya menutupi rasa itu.

“Kau miliku, Adoree…” bisik Marcus tanpa sadar disela-sela ciumannya.

Demi dewi Aphrodite! Marcus baru saja mengucapkan kalimat yang akan membuat geger seluruh kampus!

Giadore bisa mendengar bisikan itu. Bahkan sangat jelas.

Kata-kata Marcus barusan, seperti password yang membuka kunci hatinya yang menunjukkan sisi wanita dalam dirinya. Membuatnya semakin jauh dari alam sadarnya.

Meski otaknya serasa melemah namun jantungnya menghentak keras saat ucapan Marcus terngiang dipikirannya.

Asupan oksigen yang menipis membuat mereka harus menghentikan ciuman itu. Marcus sedikit menjauhkan wajahnya dari Giadore. Nafas mereka memburu. Perlahan mereka mulai membuka mata mereka, menatap satu sama lain. Namun kali ini tatapan mereka berbeda. Bukan amarah, kesal ataupun benci. Mereka menatap seolah saling berbicara melalui naluri yang sebenarnya.

Marcus kembali menunduk dan Giadore bisa merasakan bibir hangat Marcus menyentuh lehernya, mengulumnya lembut yang membuat Giadore memejamkan matanya. Giadore tahu Marcus sedang menciptakkan tanda disana namun bodohnya dia malah bertanya, ” Ma-marcus, apa yang kau lakukan?”

Suara lembut milik Giadore membuat Marcus menghentikkan aktivitasnya. Matanya kembali menatap Giadore yang menatapnya lembut. Dia sedikit mejauhkan tubuhnya dari gadis itu.

Perlahan tangan Marcus yang berada dipinggang gadis itu bergerak memegang tangan Giadore lalu mengangkatnya. Giadore bisa melihat mawar yang ditangannya diambil Marcus. Gadis itu mengernyit bingung.

Pikiran Marcus kembali kemenit-menit dimana dia masuk kedalam ruangan ‘Biology Labor’ untuk menunggu seseorang. Dia tahu orang yang dia tunggu pasti sedang menuju kesana. Namun sesampainya disana dia mendapati tanaman bunga mawar yang sedang bersemi. Perlahan dia mengeluarkan setangkai mawar merah dari dalam jas lab berwarna putih yang tengah dipakainya, lalu menyandingkannya dengan bunga mawar yang baru mekar. Bibirnya tersenyum.

Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuatnya terkejut dan mawar ditangannya pun terjatuh. Perasaan gugup menghinggapinya saat sosok yang ditunggunya datang tapi yang sangat disesalkan raut wajah kesal gadis itu membuat rencananya buyar. Gadis yang dicintainya selama ini dengan diam-diam. Giadore Shin.

“Mawar ini, aku tidak memetiknya dari pohonmu,” Marcus menunjuk pada pohon bunga mawar milik Giadore. Saat ini mereka sama-sama bersandar pada daun pintu, “ini milikku,” ucap Marcus sambil menatap kelopak mawar merah ditangannya.

Tindakan itu dilakukan hanya untuk menutupi kegugupan yang melandanya.

Giadore menunduk menutupi pipinya yang memerah selain karena malu juga karena salah paham yang terjadi. Sebenarnya dia ingin marah dan menanyakan alasan Marcus yang sudah menciumnya tiba-tiba tapi rasa gugup membuatnya menelan hidup-hidup pertanyaan itu. Toh dia juga membalasnya bukan?

Oh tidak! Kau pasti sedang tidak waras, Giadore!

Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap Marcus, “Lalu, kenapa kau baru mengatakkannya sekarang? Dan untuk apa kau keruangan ini sampai membawa bunga??”

Marcus menegang, Giadore menyadari itu. Matanya membulat dan menatap Marcus tak percaya saat dia merasa sudah menemukan jawabannya, “Jangan bilang kalau kau ingin menyatakan cinta disini?” Giadore menggeleng tak percaya, “lalu siapa gadis sial yang kau sukai itu?”

Marcus menoleh cepat pada Giadore yang tersenyum mengejek kearahnya.

Giadore merasa aneh saat melihat Marcus tersenyum manis padanya. Senyum manis yang sebelumnya tidak pernah ditunjukkan Marcus padanya.

Giadore memundurkan wajahnya saat wajah Marcus mendekat.

Marcus semakin mengembangkan senyumnya saat melihat mimik wajah bodoh milik Giadore.

Gadis itu mengerjap saat Marcus menyodorkan mawar itu kewajahnya.

“Sayangnya, mawar ini untukmu, Adore. Si gadis sial itu.”

Giadore mematung ditempat mendengar ucapan Marcus bahkan saat Marcus meletakkan mawar itu ketangannya, dia masih belum mempercayai kata-kata itu.

Apakah Marcus baru saja menyatakan padanya bahwa……

Marcus tersenyum manis saat melihat pipi Giadore bersemu merah.

CUP

Kecupan Marcus dipipinya membuat Giadore tersadar dari keter-shock-annya. Dia mengerjap, pipinya memanas.

Marcus berlari kecil meninggalkan gadis itu sambil tersenyum bahagia dan itu membuat Giadore tak bisa untuk tidak tersenyum.

“Ya Marcus bodoh! Jangan lari kau!”

Giadore mulai berlari mencoba mengejar Marcus dengan senyum yang menghias dibibirnya.

Huuhh…sepertinya hari ini sangat cerah!

END